Minggu, 04 November 2012

Bidadari Musim Hujan


di mana kau berada di sana cintaku
Walau ke ujung dunia, pasti akan ku nanti
Meski ke tujuh samudera, pasti ku akan menunggu
karena ku yakin kau hanya untukku

Untukku - Chrisye








Kaos AC/DC kuning bulukku terkena kuah bakso, imbas dari kecerobohanku saat makan. Ya, aku memang sering memegang sendok dan garpu pada bagian ujung atas. Sehingga memang peganganku tak terlalu erat. Jack yang duduk di hadapanku daritadi hanya diam saja, ia telah menghabiskan semangkuk bakso dan mulai menghembuskan asap telpus.
Saat itu langit sedang berganti warna, keadaannya sunyi. Lampu putih warung bakso menerangi setiap insan yang ada di dalamnya.

Celana jeans sobek dan rambut Afro ala Ahmed Albar adalah sebuah ketidaksengajaan dalam penampilanku sore itu.

Tepat di belakang Jack duduk dua orang wanita, mereka terlihat sangat akrab. Sesekali keduanya ku dengar tertawa hebat. Sampai waktu hujan turun dan petir mulai iseng menunjukkan dirinya barulah kedua wanita itu terlihat tenang. Warung bakso tempat kami makan itu bentuknya kubus, bersih dan di sekitarnya banyak terdapat tanaman tropis. 

Aku mengambil telpus dari kotaknya, ku nyalakan dan aku mendengarkan sesekali Jack menceritakan informasi sekitar daerah, kampus dan juga perkembangan musik. Aku terus mendengarkan, tapi konsentrasiku mulai pecah ketika seorang wanita yang duduk di belakang Jack mulai mengambil gambar temannya dengan kamera handphone. Entah sengaja atau tidak, tapi aku merasa wanita itu mengarahkan kamera itu agar aku juga terlihat dalam gambar yang diambilnya. dilakukannya berulang kali dan sesekali saat aku bertemu pandang dengannya, ia tersenyum.
Kadang kami saling membuang muka, tapi setelah itu saling berpandangan lagi. Parasnya memang elok, rambutnya hitam panjang dan anggun sekali, ia menggunakan kawat gigi dan menggunakan jam tangan ala syahrini. Wanita yang satu lagi hitam dan agak tomboi.

Jack yang dari tadi tahu tingkahku mulai janggal, mengambil langkah melihat ke belakang. Mencari tahu apa yang sedang terjadi. Jack berbisik kepadaku " lagu lama ini kalo ente cinlok ma cewe' dimanapun berada, tapi kali ini aku mendukung bro! cocok ma ente ", ucapnya dengan senyum seperti patih gajahmada. Aku menerka-nerka kenapa kedua wanita itu belum pulang juga, hampir 1 jam mereka duduk di warung bakso ini. Jack memberitahuku hasil analisanya " mereka pasti menunggu hujan yang begitu awet ini reda bro ", pungkasnya. Aku mulai sependapat dengan analisa itu. Aku kasihan melihat wajah mereka yang mulai murung menunggu hujan yang tak kunjung reda, ingin rasanya akumengantarkan mereka karena aku menggunakan mobil, Jack bersedia untuk membawakan motor mereka di tengah hujan itu. Jack dengan sukacita rela berkorban, karena katanya wanita itu memang hadiah Tuhan untukku. Aku tergelak lucu mendengar ucapan Jack, tapi jauh di dalam hatiku aku sepakat tanpa bantahan sedikitpun.

Ketika lagi-lagi kami saling berpandangan, Wajah wanita itu seperti memberi isyarat, dia akan senang hati menerima bila aku ingin berkenalan dengannya. 

Saat Hujan mulai reda, aku bergegas untuk mendekati wanita itu menawarkan bantuan. Tapi mendadak saat berdiri di hadapannya, ku rasakan langkahku kaku, jam tanganku rasanya berhenti berdetak detik, lidahku kelu. Wanita itu memandangku dengan wajah anggunnya, ia mulai memakai helmnya. Jarinya lentik dan kukunya dicat merah muda, tangannya putih dan langsing sekali. Saat lidahku sudah tidak kelu lagi, wanita itu ternyata sudah berada di atas motor dan langsung melaju dengan cepat menghindari setiap tetesan hujan.

Jack mengatakan " ayo kejar bro! ", aku bergegas menghidupkan mesin mobil. Hujan mulai deras lagi, aku melaju dalam kecepatan yang tak pernah kualami sebelumnya. Saat di samping kiri kami terlihat samar-samar pasar Tangga Arung Hampir saja kami mendekati motor wanita itu, Tapi di ujung jalan yang kami lalui ada plang perbaikan jalan. Mobil dipastikan tidak mungkin lewat, motor wanita itu bisa lewat. Aku kecewa berat.

Tapi Jack menekanku semangat untuk mengejarnya, aku bergegas untuk mengambil arah putar ke jalan alternatif.
Saat aku sampai ke jalan di depan gerbang pasar Tangga Arung. Wanita itu sudah tidak ada lagi, aku tak tahu ke arah mana ia berbelok dan dimana rumahnya. aku berputar mengelilingi kota itu menyusuri jejak yang tersisa di hatiku. Pinggiran sungai Mahakam ku susuri sampai aku tak tahu lagi kapan ku harus berhenti. Hingga akhirnya aku harus kembali karena waktu sudah larut.
Karena aku tak sempat tahu namanya kuberi wanita itu nama Bidadari Musim Hujan.
*

di atas pont de Normandie yang menghubungkan kedua tepi Sungai Seine Perancis. Aku berjalan dari arah selatan kota Paris yang tua dan kuno menuju ke Utara. Langit sore yang sendu di musim gugur menyajikan panorama kota Paris yang tertata dan sudah direncanakan oleh Napoleon Bonaparte. Jack berada di belanda melanjutkan studi hukum ke Negara penjajah kita itu. Aku telah meraih gelar doktor ilmu sosial di Sorbonne.

Saat aku sampai di La Rive Droit ( tepi kanan sungai seine ) atau biasa disebut paris utara oleh para turis, aku duduk dan merenung melihat lalu lalang kapal-kapal kecil yang melintasi sungai indah ini. Hingga daun berguguran dan angin sungai bertiup sepoi-sepoi menggoda wajahku. aku baru tersadar bahwa hujan akan membasahi bumi ketika setetes air jatuh tepat di ujung hidungku.

Aku segera mencari mencari pohon besar yang bisa menghindarkanku dari hujan yang begitu deras. Saat aku berteduh dan mengambil jacket tebalku dari dalam tas ransel seorang wanita datang dan berteduh disampingku. Aku tidak begitu memerhatikannya karena aku sudah ditemani telpus. Asap telpus menjadi suasana dan monolog dalam renunganku.

Saat langit mulai berhenti menangis, aku sedikit berbasa basi kepada wanita berkacamata hitam itu " La pluie a commencé à se calmer " ( Hujan mulai reda)  , ungkapku dengan nada sengau ala prancis. Wanita itu mengangguk dan menjawab " Aku mulang duluan yoh.. " dengan nada bahasa Kutai. Aku terkejut setengah mati, bagaimana bisa di tengah kota peradaban dan mode dunia yang terpisah samudera, berbeda benua dengan Negaraku indonesia, ada seorang wanita di tepi sungai seine yang berbahasa Kutai menjawab basa basiku yang berbahasa prancis.

Wanita itu membuka kacamata hitamnya dan menaruhnya di dalam tas, aku mulai mengenalinya. Hatiku berteriak kencang, semua semangatku yang hilang seketika muncul kembali. Bidadari musim hujan ada di depan mataku.

Dari kejauhan aku tetap berdiri di bawah pohon, memerhatikan dirinya berjalan di bawah sisa tangisan langit hingga ia tak terlihat lagi oleh mata minus satu ku. Aku tidak lagi mengejarnya, karena aku yakin jika ia hadiah Tuhan maka ia akan selalu ada di dekatku sampai akhir waktu.


Ku tulis cerita pendek ini di belakang poster politik yang ditempel di sudut utara Place de la Bastille, sebuah distrik tempat demonstrasi bersejarah di tepi kanan sungai seine. 

Dari yang selalu ingin mengenalmu
Oh bidadari musim hujan
Jika kau hadiah Tuhan, semoga kau membacanya.




Senin, 08 Oktober 2012

Kankat new single!

Masa SMA adalah masa paling indah dalam hidup seseorang, masa dimana mengenal harga diri, cinta dan cita. Itulah mengapa kemudian Kankat menulis lagu ini.

Rabu, 03 Oktober 2012

Seribu Tahun


I have died everyday
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
(Christina Perri – Thousand Years)

Awan adalah saksi dari bergantinya rotasi hari, bentuknya abstrak dan tak memiliki kemiripan dengan apapun. Ayah tak memperbolehkanku berandai-andai dengan bentuk awan. Ayah tak ingin aku menjadi pengkhayal. Aku tentu menurut, karena bagiku petuah orang tua adalah suatu keharusan yang mesti diikuti karena didasari niat baik. Tetapi sesekali kadang tindakanku berontak, aku mencuri-curi untuk duduk atau berbaring di atap rumah untuk memerhatikan bentuk awan.
Kadang aku heran, aku sering membuang waktu untuk melihat awan dalam kurun yang panjang. Sambil ku hisap beberapa batang pilinan tembakau amerika. Imajinasiku mengelilingi dunia, sampai tak sadar ini sudah jam berapa.
*
“ kamu darimana aja, gak angkat telponku dari tadi ? “, Suara dari ujung telepon pintar itu menggetarkan aku. Aku menjawab sekenanya. Karena kebiasaan unik itu tak mungkin mudah diterima penjelasannya. Apalagi untuk orang yang selalu curiga dengan setiap gerikku.


Rani memang paling pintar untuk mencari-cari kesalahanku, aku sudah 6 tahun berteman dekat dengannya. Dia lah yang selalu membuat keributan denganku setiap hari melalui telepon pintar. Baginya cinta adalah keributan, cemburu dan keras kepala. Aku bingung dengan perlakuannya, karena aku bukan siapa-siapa baginya.

Aku sering menjawab dengan sikap asliku, cuek dan individualis. Aku pernah tinggal di eropa di waktu remaja. Sehingga gaya hidupku sehari-hari banyak terpengaruh mazhab liberalis. Aku kadang tidak menghiraukannya seharian. Tapi tak menghubunginya pun masalah, karena aku kadang merasa kasihan dengan sikapnya yang kekanakan.


Rani sebenarnya gadis baik, dia tak pernah mengenal cinta seutuhnya. Ia hanya melihat bagaimana kawan akrabnya menuturkan masalah-masalah dalam hubungan percintaan. Sehingga ia mengira ribut, cemburu dan keras kepala itulah cinta.


Malam itu dia meminta kejelasan padaku, aku tak mengatakan apa-apa selain mari kita menatap masa datang dengan bebas merdeka. Aku tak suka dalam kondisi dimana aku didesak untuk sebuah kepastian yang bukan hakku untuk menentukanny
a. Aku lebih suka menjalani tanpa pengharapan yang pasti.

*

Malam itu aku berjalan kaki di Salemba, aku tak menemukan apapun yang aku cari. Dia menelponku, mengirimkan pesan dan memaksaku untuk memberikan kepastian. Jika memang cinta itu bahkan seribu tahun lagi, untuk apa kau minta kepastian hari ini. Aku tak mau membuatmu tergantung, karena aku tak suka digantung. Aku tak suka dengan suasana begini, inilah yang menyebabkan aku terus nomaden dalam cinta. Hanya satu insan hawa yang pernah membuatku penasaran, dan itu bukanlah Rani. Kawanku berpendapat “ Realistis saja lah San!, jangan suka berharap pada yang belum memberikan jawaban “, katanya. Aku hidup bukan untuk sebuah jawaban pasti, Ilmu pasti hanya mengajarkan kepastian yang terukur. Namun dalam aplikasinya relativitas akan mengintervensi sampai ke lubuk substansi. Jika pun aku mati setiap hari karena menunggu, aku tak ragu karena cinta bagiku bertahan seribu tahun dan lebih. Aku tak akan pernah mau terkekang dengan seseorang yang hanya mempertanyakan kepastian yang sudah padam di hatiku.


Aku tak bertanggung jawab atas diri Rani, karena aku tak pernah merugikannya barang sedikit pun. Dalam logika satu dikurang satu adalah nol. Nol adalah bilangan tak terbatas. Hari ini hubungan kami sudah nol dan itu berarti tak terbatas. Aku berhak untuk mengejar lagi impianku, membuktikan pada Ayah bahwa aku bukan seorang pengkhayal. Rani pun bebas untuk menentukan kemana dia akan pergi.
Mulai esok aku akan bangun dengan sikap tak terbatas, namaku Ahsan.




AKU
Kalau sampai waktuku'
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
BerlariHingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar
Maret 1943





Kamis, 06 September 2012

Lihatlah bintang-bintang

Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow

Yellow – Cold Play


Senja sering menjelaskan bagaimana gradasi warna telah menjadi sebuah monolog alam yang mengajak manusia mensyukuri keindahannya. Menjadi epilog aktivitas rasionalitas manusia yang terbatas, sekalipun dalam memotivasi kehidupannya seringkali kita pun harus memungkirinya dalam rangka mengoptimalkan segala potensi. Karena ketaklidan buta dan sifat minimalis yang berbuat sekedarnya telah berperan protagonis dalam kemunduran peradaban manusia.

Bagi pengagum keindahan malam maka senja ialah pertanda, dimana ia bisa melanglang buana tanpa peduli masuk angin (Pen : penyakit khas Indonesia). Malah sebagian justru masuk ke dalam perangkap Jahiliah dalam wajah modern. Begitulah jika menerima sesuatu tanpa mengerti substansi.

Suara panggilan ibadah bagi para pengikut agama mayoritas telah berkumandang, hiruk pikuk jalanan mulai berkurang entah karena semua pengikut agama mayoritas itu pergi melaksanakannya atau takut melakukan aktivitas karena mitos yang telah membusuk di dalam sanubarinya. Turun dari vespa kongonya seorang mahasiswa pascasarjana, gaya pakaiannya yang amburadul membuat para jamaah masjid yang sudah mensucikan diri itu mengira ia hanya singgah untuk duduk karena juga takut mitos. Sebuah mitos memang mempengaruhi sugesti dan perilaku, di kota itu masyarakat percaya bahwa perubahan warna langit dari terang ke gelap akan membuat seseorang sial jika masih beraktivitas langsung di bawah langit. Ternyata dugaan selalu mengandung benar dan salah, Mahasiswa itu mengambil wudhu dan Shalat. Dari kejauhan dua orang berambut cepak mengawasinya.

“ Kamu itu dicari oleh intelijen, kenapa kamu masih menemuiku?,“ sorot mata bola ping pong itu bertanya dengan gelisah. “ Ahh, itu hanya perasaanmu saja,“ dengan nada beratnya Alka menenangkan gadis bersuara cempreng itu.“ Kamu selalu membuat masalah dengan ide-ide gilamu,“ katanya lagi. “ Sudahlah, mari kita bicarakan hal lain, ” tutupnya agar tidak tegang. Menikmati malam di tepian sungai mahakam adalah sebuah cara yang ditempuh Alka untuk bisa menemui Karina. Karena Karina memang setiap malam kamis dan sabtu malam selalu menunggu Alka di cafe mahakam itu, Alka selalu berganti penampilan setiap keluar rumah. Malam itu ia gunakan topi ala bruno mars, dan menggunakan blazer coklat tua. Sedih sedikit hatinya tapi tak mau ditunjukkannya melihat diri Karina yang hanya tertunduk diam. Karina sesekali melihat mata lelaki itu. Kesan optimis memang tidak bisa dilepaskan oleh gayanya, lebih jauh dilihatnya ke dalam sorot mata itu tidak terkandung sedikit pun penyesalan. Dirinya perempuan biasa yang tak tahan membayangkan nasib buruk akan menimpa lelaki yang sungguh disayanginya itu.

Kembali seperti yang selalu dilakukannya, lelaki itu mencuri beras bantuan dari gudang pemerintah. Kemudian membagikannya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Sebagai mahasiwa pascasarjana, Alka tentu tahu cara lain untuk meminta rasa adil bagi masyarakat yang dibelanya. Tapi pemerintah kota itu telah tidak benar membagikan beras jatah miskin itu, justru mereka memberikannya kepada orang-orang yang sebenarnya mampu membeli sendiri. Masyarakat yang papa dan membutuhkan justru tidak pernah terlayani oleh bantuan praktis itu, di pemerintahan memang seringkali digunakan istilah oknum untuk menyebut perseorangan yang melakukan penyimpangan. Tetapi bagi Alka, kumpulan oknum telah mengisi pemerintahan. Pernah ia memberikan kritik dalam sebuah media massa, esoknya media massa itu dibredel. Lewat jejaring sosial pun tak kalah semangatnya bersahutan, akun jejaring sosialnya dihack dan dimasukkan gambar-gambar tidak senonoh. Ia menjadi takut dan ngeri untuk mencoba menyampaikan pikiran dan pendapatnya kepada pemerintah melalui ucapan.
Pikiran jernihnya sebagai mahasiswa pascasarjana sosiologi tentu tidak dapat dipungkiri, mewujudkan rasa aman dalam masyarakat baginya tiada mungkin apabila kebutuhan fisik masyarakat tidak terpenuhi terlebih dahulu. Teori 5 kebutuhan manusia Maslow ada di luar kepalanya.

“ Terima kasih nak Alka,“ ucap nenek uzur menyambut beras, nenek itu tinggal di sebuah perkampungan kumuh. ” Di saat ayahmu dulu menjadi walikota kami tidak pernah kesusahan macam ini. Kamu itu pahlawan bagi kami, mudah-mudahan nasib baik selalu melindungi.” sambung Nenek itu. Nenek ini adalah salah seorang dari ribuan masyarakat miskin yang ditolongnya. Kampung Nenek itu adalah pemukiman kumuh di ujung utara kota itu yang hanya didatangi saat kampanye politik penguasa. Mereka selalu diberikan angin segar 5 tahun sekali dan angin badai ekonomi hampir separuh hidupnya. Alka hanya tersenyum kecil, ia tahu bahwa yang dilakukannya adalah hal mulia dengan cara tidak mulia. Tapi apalah lagi cara, mengambil tindakan ini sebenarnya adalah bunuh diri pelan-pelan. Karena ayah Karina si Walikota tangan besi pasti akan menggerakkan kepolisian untuk menangkap pencuri baik hati ini.

Alka telah yatim piatu semenjak 2 tahun lalu tinggal sendiri di rumahnya, sebuah rumah tua yang sudah jadi cagar budaya kota itu. Malam minggu itu harusnya jadi malam yang menyenangkan baginya karena dapat menemui si mata indah bola ping pong yang semampai berkerudung itu. Tetapi situasi berkata lain, mobil polisi mengepung rumahnya malam itu. Alka yang setelah Isya tadi hanya mendengarkan lagu yellow dari coldplay dan sedang memilih-milih baju di lemarinya terkejut karena mendengar dobrakan keras dipintu depan. Alka yang paham dengan sejarah kota itu mengambil inisiatif, rumahnya memiliki hubungan dengan rumah dinas walikota. Sebuah lorong bawah tanah menghubungkan rumah Alka dengan garasi di rumah dinas. Segera ia bergegas untuk masuk ke ruang bawah tanah itu, terburu-buru ia berlari hingga tak ingat menutup pintu masuk lorong rahasia itu. Alka tidak pernah menggunakan semua perangkat teknologi semenjak hacker menembus akun pribadinya, telepon jinjingnya yang disadap pun menghalanginya untuk melakukan segala bentuk komunikasi.Di garasi rumah dinas walikota, Alka berhenti untuk menulis lirik lagu coldplay itu. Ia selalu mengutip lirik lagu untuk Karina Amir, anak Walikota Amir. Kertas dan pulpen yang selalu ada di saku kemeja lengan panjang berkantong itu dipakainya menulis lirik itu yang sudah diartikan sendiri dalam bahasa Ibu. Digubahnya sedikit menjadi sebuah kata-kata pribadi.

Pintu lorong rahasia yang terbuka telah memberikan kesempatan besar intel untuk menangkap basah pencuri baik hati itu. Alka terkejut ketika melihat dua orang intel berambut cepak dan berbadan tegap sudah berada tepat di belakangnya. Siap meringkusnya dengan bengis. Keributan di garasi itu menimbulkan rasa penasaran bagi Karina yang sedari tadi duduk di teras depan menunggu Alka yang memang sering dalam diam menjemputnya untuk menikmati pemandangan kota yang dari atas bukit terlihat samar-samar indah itu. Alka berlari kencang melewati gadis itu, memegang tangannya sekejap dan terus berlari ke arah yang tidak diketahui. Intel terus mengikuti dan memberikan tembakan peringatan. Karina yang tidak siap dengan kejadian itu berlutut dan menitikkan air matanya. Di tangannya tergenggam sebuah lirik pembuka lagu yellow dari grup musik cold play. Di bukanya pelan-pelan kertas yang remuk itu, dibacanya lamat-lamat lirik lagu yang telah menjadi jadul itu. Air matanya terus keluar seolah mata tak punya cara untuk membendungnya.

Lihatlah bintang-bintang
Lihatlah bagaimana mereka bersinar untukmu
Dan semua yang kau lakukan
Ya, mereka semua kuning

Jika bintang selalu menyinarimu setiap malam, aku ingin seperti itu.

                                                                                  17-8-2045

                                                                                   Alka


Suara tembakan berbunyi dari kejauhan, suara sirine yang mengepung dan suara jerit tangis masyarakat di utara kota itu menandakan bahwa pahlawan muda itu telah tiada. Karina tertunduk pucat terus menangisi kejadian mengejutkan di depan garasi, dirinya shock dengan tragedi penuh momentum melodramatik yang begitu cepat. Orang tua Karina keheranan melihat tangis Karina, mereka tak pernah tahu siapa pencuri baik hati yang tertembak mati itu. Atau mungkin pura-pura tidak tahu.


Kamis, 05 Juli 2012

Pra Sarjana dan Pasca

Bagi sebagian orang yang menyukai sesuatu yang instan barangkali gelar sarjana adalah hal yang terjangkau untuk dibeli, tapi bagi orang-orang yang menikmati perjuangan mencapai gelar sarjana adalah sebuah pencapaian Ikhtiar dan keniscayaan Takdir. Tantangan menggapai gelar sarjana itu ada dua, pertama tantangan teknis seperti susahnya mencari referensi, sulitnya bertemu untuk konsultasi dengan dosen dan revisi yang datang bertubi-tubi. Kemudian tantangan yang kedua adalah tantangan psikologis seperti rasa traumatik yang berlebihan karena pernah dimarahi dosen akibat kesalahan yang tidak juga fatal, rasa malas berkepanjangan dan penyakit suka menunda urusan di hari selain senin ( karena beranggapan semua masalah akan beres bila kita bisa bangun hari senin pagi ) Hari senin dianggap hari paling punya peluang untuk ketemu dosen dan staff akademik untuk berurusan padahal tidak bisa bangun juga kadang, akhirnya mengulang menunggu hari senin lagi senin lagi.

Dalam pada itu Mahasiswa tingkat akhir saya klasifikasikan menjadi dua, yaitu tipikal "pemikir keras" dan "pekerja keras".
Pemikir keras adalah orang yang belum juga mengajukan judul tapi dia sudah menentukan hasil lewat pikirannya, hal ini membuat dia tidak pernah percaya pada kekuatan nasib. Sesudah judul diterima, begitu ingin maju konsultasi dia merevisi skripsinya sendiri berkali-kali sebelum direvisi oleh dosen. Padahal secara gamblang kita semua tau, tugas dosen adalah merevisi. Para dosen digaji untuk merevisi, sudah barang tentu kita seharusnya tahu dan paham kita hanya cukup mengerjakan. Biar revisi dipikirkan oleh dosen.
Yang kedua adalah tipe "pekerja keras", inilah tipikal yang membuat orang lulus cepat bahkan cum-laude. Panas, hujan, siang dan malam dia terus mengerjakan skripsinya tanpa pernah merevisinya sendiri. Kadang saking semangatnya latar belakang penelitian yang seharusnya ditaruh di BAB I justru dia letakkan di BAB IV, hasilnya adalah dimarahi bahkan ditertawai dosen habis-habisan. Tetapi tak kenal menyerah, amarah dosen justru dijadikannya pecutan keras di jiwanya hingga ia mampu menyelesaikan skripsi sesuai dengan harapannya.

***

Menuju seminar proposal saya punya pengalaman unik karena saya salah mencatat nomor telepon dosen pembimbing, begitu saya sampai ternyata saya salah alamat. Alhasil saya kena marah oleh dosen salah alamat itu. Karena mental saya baja, saya meminta maaf baik-baik dan berdiskusi dengan dosen itu. Untungnya dosen yang saya salah datangin rumahnya itu adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi yang juga saya ikuti selama kuliah sebagai tempat pengabdian terhadap Ummat Bangsa.

Seminar demi seminar saya lewati dengan mental sekeras baja, bangun pagi dan membeli makanan terenak di kota samarinda, menyiapkan pakaian terbaik dan menyebar undangan untuk seminar. Kesana Sini berkeliling mengurus berkas agar semua terlengkapi. Belum lagi teriakan keras dosen di ruang seminar, revisi yang kadang tidak saya pahami apa maksudnya, dan galau sana sini menunggu dosen yang kadang suka membuat hati resah karena tidak menjawab telpon. Semua hal rumit dan menggalaukan itu tidaklah membuat saya gentar untuk mencapai gelar sarjana.

***
Saat sebelum yudisium akan dilaksanakan PD 3 menelepon saya dan mengatakan saya harus jadi perwakilan yudisiawan, menyampaikan kesan dan pesan. Biasanya yang mewakili yudisiawan adalah mereka yang cum-laude dan memiliki IPK tertinggi. Tetapi Pak Heriono mengatakan bahwa saya lah orang yang paling tepat untuk berada di podium itu. Entah alasannya apa, saya tidak ingin berekspektasi berlebihan karena hanya akan menyebabkan saya terkena penyakit Gigantisme aktivis.

Yang saya lakukan adalah memberikan sambutan kontekstual, berterima kasih kepada dosen atas bimbingan dan ujiannya, orang tua dari kampung halaman yang telah berdo'a, mendorong, mengirimkan dana agar bisa lulus dan menebar harapan kepada kawan-kawan yudisiawan agar memiliki cita-cita besar menjadi kepala daerah di daerah asalnya masing-masing serta sebuah pantun ceria yang disambut meriah oleh hadirin.

*

Akhirnya besok sudah waktunya untuk wisuda, dengan segala kerendahan hati saya bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah membuat skenario indah bagi saya dalam usia muda ini, saya mencapai gelar sarjana sosial bidang ilmu administrasi negara dalam usia 21 tahun.

Pada umur 23 nanti saya ingin mencapai gelar magister administrasi publik di Universitas Indonesia dan menggapai gelar Doktor Administrasi Publik di Harvard Kennedy School Amerika Serikat di usia 26.

Dari TK sampai lulus SMA saya lalui di ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, masa aktivis Mahasiswa S-1 saya lewati di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, S-2 ingin saya jalani di Ibukota NKRI, dan gelar Doktor akan saya capai di Ibukota dunia internasional tempat semua bangsa berkumpul dan berkompetisi Amerika Serikat.

Semua pilihan itu saya ambil demi keluar dari zona nyaman, demi kebijaksanaan hidup, demi Iman dan Taqwa yang lebih kuat di hari-hari akan datang dan demi masa lalu yang terlewati dan cita-cita yang tergantung di langit tinggi.

Jalan-jalan ke pasar segiri, jangan lupa membeli ikan
Perkuliahan telah kita akhiri, semoga sukses di masa depan!

Senin, 02 Juli 2012

Melempar batu ke Mahakam

selasa malam jam 23.00 
keadaan sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di jalanan. 
Aku, Edo dan Pandi duduk di pinggir tepian sungai mahakam Tenggarong. Masyarakat Tenggarong biasa menyebut tempat ini dengan sebutan "Ancol". Tepian atau Pinggiran sungai yg biasa di sebut "Ancol" ini terletak di depan Planetarium Kota Raja, berbeda dari tepian yang ada di daerah timbau dst. karena tepian ini dihiasi dengan taman dan tempat duduk yang Indah, suasananya terasa hening udaranya pun bersih dari polusi. Angin berhembus sepoi-sepoi malam itu, aku menggunakan jaket tetapi kedua temanku itu tidak. mereka tidak merasa kedinginan, karena lampu jalan yang begitu terang cukup menghangatkan kondisi Ancol malam itu. aku memang seringkali duduk merenung di ancol, tetapi ini kali pertama ku ajak kedua sahabatku untuk bertukar pikiran tentang masalah-masalah kehidupan. Pandi memulainya dengan bercerita tentang hubungan pertemanannya yang hampir retak karena seorang wanita, kemudian Edo membuka topik berikutnya mengenai gaya hidup anak muda tenggarong yang penuh dengan gengsi dan kesombongan, aku mendengar cerita mereka sambil meminum susu kemasan. Sungguh banyak sekali hal yang kami bicarakan malam itu, sampai2 saya lupa apa saja yang telah dibicarakan. tetapi satu yang saya ingat adalah akhirnya kami mendapat kesimpulan bahwa Masalah adalah Inti dari kehidupan, ketika tidak ada masalah maka yang ada adalah kehidupan datar/monoton. Masalah membuat hidup kita menjadi dinamis dan diri kita menjadi semakin dewasa karena kita harus memilih langkah terbaik dalam menyelesaikannya. 
... 
susu yang ku minum telah habis, ada mitos di kukar yang mengatakan bahwa kalau kita membuang sesuatu ke mahakam dan menaruh harapan dan cita-cita maka akan terkabul di kemudian hari. aku membuang kaleng susu itu ke sungai mahakam dan berteriak " Aku Ingin Menjadi Bupati kukar!!! " teriakanku memecah keheningan malam. selanjutnya Edo membuang kulit kelengkeng dan Berteriak " Aku Ingin jadi pengusaha sukses!!!" teriakan edo mengejutkanku, karena aku tidak tahu kalau dia juga mengikuti apa yang ku lakukan. cita-cita yang kami impikan sungguh sangat tinggi dan gagah. tiba-tiba tanpa disangka Pandi mengambil batu, melemparkannya ke sungai Mahakam dan berteriak " aku ingin diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki!!! " , aku tertegun melihatnya berteriak seperti itu, aku dan edo serentak bertanya " kenapa kau hanya mau sehat dan rezeki pan??" bukankah kita harus menarget cita-cita dan harapan setinggi-tingginya... Pandi kemudian menjawab " kita bisa menjadi apa saja ketika kita sehat jasmani dan rohani, lalu kita bisa mendapatkan apa saja apabila Tuhan memberikan kemudahan rezeki...tanpa sehat dan rezeki kita tidak akan mampu meraih cita-cita kita..." aku dan edo terdiam, kami merasa apa yang dikatakannya benar dan selama ini kami hanya bercita-cita tentang pekerjaan atau profesi, tidak pernah terlintas dalam benak kami tentang Kesehatan diri dan Kemudahan rezeki... 

Seandainya aku tidak mengajak Edo dan Pandi ke Ancol malam itu mungkin aku tidak pernah sadar bahwa ada yang lebih penting daripada Cita-cita Pekerjaan semata... 
aku sadar bahwa selama ini pemikiran kita telah diracuni oleh ketakutan terhadap masa depan yang suram, masa depan yang sangat kompetitif yang akan menyisihkan orang-orang tak berguna... 
Masa depan yang mengharuskan kita memiliki cita-cita pekerjaan bahkan dari bangku TK / playgroup.. 
terima kasih kepada Pandi dan Edo, karena tanpa "bekesahan" dengan kita, aku tidak mungkin sadar akan pentingnya Kesehatan dan Kemudahan Rezeki. semoga di kemudian hari kita bisa selalu diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki serta mampu meraih cita-cita pekerjaan yang kita inginkan. 


Kamar Tenggarong, 23 september 2009

Kekalahan bukan akhir

" Di saat kita merasa diri kita kalah
lihatlah ke belakang kita, terkapar orang lain yang lebih kalah "
- Azwar


Sebuah kisah tentang Dunia Politik Mahasiswa
Semoga bisa Menginspirasi teman2 Mahasiswa semua...



Malam hari, aku keluar dari kampus setelah penghitungan suara pemilu selesai.
Aku melewati taman-taman kecil yang menghiasi kampusku, pohon2 besar menemani langkah bayanganku. sesekali kendaraan bermotor lewat dan cahayanya membasahi wajahku.
aku ingin sekali langkahku ini membawaku sampai di rumah, karena aku mencium bau tidak enak dari Kertas suara yang dibakar setelah di robek dan dihitung. suasananya begitu panas dan aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan.

Adalah kebodohanku ketika melakukan sesuatu tanpa ingin repot, aku ingin segala sesuatu dikerjakan dengan mudah tanpa harus kerja keras. Seharusnya kemarin aku mampu terpilih sebagai Presiden BEM Universitas di kampusku. kalau saja aku mau melakukan sesuatu yg telah ku rancang sebelumnya, tapi nyatanya aku sendirilah yang tidak mau melakukan semua itu karena bagiku merepotkan.

Memang itulah karakter hampir kebanyakan Mahasiswa zaman skrg pikirku, tidak mau repot, cuek dan cenderung suka bersenang-senang. Aku duduk dan menghisap rokok di pinggir jalan depan kampusku, aku berpikir tentang kegagalanku merebut kursi pimpinan mahasiswa tertinggi di kampusku.
" Sudah seperti ini, ke mana org2 yg kemarin mendukungku?" teman-temanku yang semula menjadi tim suksesku saat pencalonan, skrg menjadi penjilat di kubu lawan. mereka melakukan itu karena mereka takut apabila tidak memiliki jabatan maka mereka tidak akan dipandang sebagai Aktivis kampus.
Cewe-cewe kampus yang dulu menjadi fansku pun mulai tidak menyenangiku, karena mereka menganggap aku orang yang kalah dan tidak punya banyak pendukung.
Aku Marah, " aku ini hebat, bayangkan aku mampu mengumpulkan 113 suara mahasiswa di seluruh fakultas sedangkan lawanku hanya mampu mengumpulkan 13.000 suara di seluruh fakultas"
...
Sepertinya memang aku adalah kalah dan kalah adalah diriku, ku ingat-ingat kembali apa yang telah ku lakukan. kelalaianku adalah tidak mau terjun langsung ke mahasiswa untuk bersosialisasi. ku kira dengan wajah yang tampan, otak yang cerdas, retorika yang bagus, gaya yang stylish, pemikiran yang kritis, punya banyak teman maka aku akan terpilih sebagai Presiden BEM dengan mudahnya. ternyata iklim Mahasiswa hari ini adalah manifestasi dari iklim Masyarakat luas. Mahasiwa hari ini mayoritas apatis dengan keadaan kampus maupun Negara. Sebagian besar dari mereka memanfaatkan waktu untuk Datang, Duduk, Diam dan pulang Tidur.
Tapi sudahlah, bukan itu yg jadi masalah hari ini.

Aku adalah orang yang kalah, nasibku sial. aku orang yang bodoh dan lalai.
Mungkin kegagalanku ini juga karena aku jarang beribadah?. atau mungkin karena aku tidak minta di doakan dengan orang tuaku? atau jangan-jangan karena aku tidak suka menonton Film India---- Loh apa hubungannya?? aku mulai jadi gila karena kekalahanku
Karena seharusnya sekarang aku sudah menjadi Presiden BEM yang dengan begitu gagahnya berjalan di tengah2 mahasiswa/i kampusku. Mahasiswa/i akan menegurku dan bangga saat aku membalas teguran mereka.

Aku tenggelamm dalam kepesimisanku,
aku resah dengan kemampuanku
Aku tidak mampu untuk menang di dalam pertarungan
aku takut untuk mencoba lagi
Aku pasti Kalah seterusnya dalam kehidupan ini...


malam hari Dalam perjalanan pulang ke jln. Pramuka, aku mengeluh dan resah dengan nasibku yang jelek saat merebut kursi Presiden BEM. Aku menggerutu sendiri, marah dengan keadaan yang tidak enak.
aku menyusuri pinggiran lapangan bola pramuka, di depanku tempat sampah yang baunya amis.
aku terkejut karena aku tak menyangka, ada seorang lelaki tua yang terbaring di dalam sana.
aku mengira ia sudah mati " Pak, bangun" tegurku
ia terbangun seraya berucap alhamdulillah...
"terima kasih nak telah membangunkanku, aku tadi sedang bekerja memilah sampah-sampah ini... agar sampah kimia bisa di daur ulangg dan sampah yang basah bisa kembali menyatu dengan tanah.
tetapi diluar dugaaan aku tertidur karena aku lelah."
aku bingung melihat manusia satu ini, bajunya lusuh, Kakinya berkoreng dan wajahnya pun sangar.
Aku kemudian bertanya " Mengapa engkau tadi mengucapkan hamdalah/syukur saat kau ku bangunkan Pak tua?".
wajahnya menunduk dan tersenyum kecil "untuk apa aku mengeluh lagi dengan keadaanku ini?" ia kemudian melanjutkan bicaranya "aku sudah menemukan nikmat kehidupan ini anak muda. aku selalu bersyukur ketika aku habis kencing ataupun habis berak". 

Aku bingung dengan orang ini, bahasanya tidak menggurui tetapi begitu dalam masuk memenuhi relung jiwaku. Membuatku ingin bertanya lagi " kenapa kau bersyukur ketika kau bisa kencing dan berak?"

Ia menjawab dengan wajah sangarnya yang terkesan dingin itu " Saat aku bisa kencing ataupun berak sesungguhnya badanku adalah tekhnologi terhebat yang pernah ada di muka bumi ini ". " Tubuh kita memprosesnya dengan berbagai kerja di dalamnya, Bagiku itu sungguh hebat dan aku berterima kasih pada Tuhan akan hal itu" jelasnya.

Aku terperangah mendengarnya, tidak ku sangka orang yang keliatannya tidak berpendidikan ini, mampu menjelaskan sesuatu yang sederhana tetapi sangat berarti bagi kehidupan. 
tetapi tidak cukup, bagiku orang ini adalah orang yang tidak mengerti apa2 tentang Politik.
dia hanya berbicara sesuai pengalamannya, tetapi dia tidak mengerti teori pikirku.

aku kemudian dengan lantang bertanya kembali, berharap ia tidak mampu menjawab pertanyaan mahasiswa yang sulit-sulit " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" , dia pasti tidak mengerti dengan pertanyaanku dan dia juga tak akan mampu menjelaskan apapun.

Bapak tua itu diam dan mengambil sampah-sampah dari plastik dan kain. dia membentuknya menjadi seperti bola sepak, tidak bulat sempurna tetapi mampu menggelinding.
Ia kemudian mengajakku bermain bola di lapangan bola pramuka, lapangan hijau yang penuh dengan rumpit liar yang panjang dan tak terawat. aku heran ia belum juga menjawab pertanyaanku. " Ayo tendang bolanya, kita main pinalty kick" ia memutuskan untuk menjadi penjaga gawang dan aku menjadi penendang". ia memberi arahan kepadaku "kau harus menendang dengan keras dan penuh keyakinan". aku bingung, apa yang mau dia lakukan dengan bermain bola berdua di malam hari ini seperti ini. aku pun ikut saja karena aku masih penasaran dengan jawabannya.
aku menendang dengan keras, tak ku sangka bapak ini ternyata lincah sekali menjadi penjaga gawang.
" AYo semangat anak muda, masa' tdk bisa GOL sih??"
Aku menendang terus dengan wajah tersenyum ceria, akhirnya aku mampu menendang dengan baik dan menciptakan 1 GOL. setelah belasan kali menendang akhirnya tercipta sebuah gol.
Aku duduk kelelahan, bapak tua itu berdiri di depanku dengan gayanya yang dingin.
" Kau tidaklah kalah anak muda dalam meraih mimpi, hanya saja kau tak mau mencoba kembali apa yang pernah kau lakukan. Usaha itu adalah Ikhtiar, sedangkan nasib itu adalah Takdir. Manusia berusaha sebaik mungkin, Tuhan yang akan menentukan hasilnya " dia mulai memberikanku pencerahan.
" Saat kau menendang Bola tadi anggap saja kau sedang berusaha, dan saat kau mampu mencetak Gol itu adalah cerminan saat kau sukses. artinya jelas bahwa kau sebenarnya akan sukses meraih mimpi ketika kau berusaha dengan keras dan mencoba terus ".
aku mulai terpesona dengan apa yang dikatakannya, tetapi aku mengungkit lagi pertanyaanku yang masih belum di jawabnya tadi. aku mengulang pertanyaanku " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" .

Ia dengan bijak menyatakan " kau harus tetap bersyukur anak muda!! "
Aku butuh alasan " mengapa aku mesti beryukur, padahal Hidup ini tak adil" sanggahku

Bapak tua itu kini menyuruhku untuk meminum air yang dibawanya, " Minumlah ini nak" sembari ia menyerahkan botol air itu kepadaku.
" minumlah air itu, tetapi jangan kau telan dahulu sebelum aku selesai menjawab pertanyaanmu" 
Bapak tua itu bersuara dengan keras " apapun yang kau alami kau harus bersyukur, karena rasa bahagia maupun kecewa itu adalah nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita nak " ia melanjutkan
" Hal yang patut kau syukuri dari kekalahanmu adalah kau menjadi sempat untuk merenung dan berdiskusi dengan orang tak berpendidikan sepertiku, coba kau bayangkan seandainya kau terpilih?"
...
aku berpikir betul juga apa yang dikatakan bapak tua ini, air masih dimulutku dan belum ku telan.

" Seharusnya kau bersyukur, kau masih mampu kuliah dan beraktivitas". 
wajahku mengeluarkan ekspresi bertanya
" Aku seorang Ayah, anakku seorang lelaki yang cacat fisiknya. ia Buta dan tidak bisa melihat apa-apa. Aku tetap bersyukur karena aku yakin Tuhan bukan memberikan Takdir yang buruk kepadaku tetapi Tuhan telah menentukan skenario terbaik untuk kehidupanku. Anakku itu tidak dapat melihat, tetapi ia mampu bermain musik dengan baik. banyak orang yang kagum kepadanya dan mengundang ia untuk mengisi acara musik dimana-mana" bapak tua itu menjelaskan dan betapa bangganya ia dengan prestasi yang dimiliki anaknya.

Aku semakin tersadar bahwa aku adalah manusia yang beruntung tetapi sering mengeluh dengan keberuntunganku, aku tidak memiliki kecacatan, orang tuaku mampu, aku bisa kuliah, aku bisa semuanya. aku hanya gagal dalam persaingan politik.
Aku menelan air yang dari tadi ku tahan dimulut itu
" Aku minta maaf karena aku sudah pesimis pak " ucapku kepada bapak tua itu..
Ia menyergah ucapanku " Kau tidak perlu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada dirimu sendiri. karena selama ini kau telah menginjak-injak harga dirimu sendiri hanya karena satu hal". bapak tua itu mengutarakan dengan bijak pandangannya
" Jika hari ini kau gagal meraih sesuatu yang ku tak tau apa itu, besok kau harus kembali mencobanya dan meraihnya" .

Aku pun meminta maaf kepada diriku, dan diriku memaafkannya
aku berjanji dalam diriku sendiri " aku akan mencobanya lagi tahun depan, apapun hasilnya aku akan tetap bersyukur dan ikhlas "

Aku kemudian berpamitan dengan bapak tua itu, aku mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup yg diberikannya..
Aku mulai berjalan meninggalkannya, Bapak itu mulai mengerjakan kembali pekerjaannya memilah-milah sampah. aku tenang dalam perjalanan pulang itu, tak ada rasa gundah sedikitpun dalam diriku, tak muncul sekalipun keluh kesah dari mulutku, aku sadar betapa pentingnya rasa syukur dalam menghadapi kehidupan ini. terima kasih bapak tua, telah mengajarkanku cara berterima kasih kepada Tuhan.

Pagi Pukul Enam

Sebuah prinsip adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi, karena itu telah menjadi nurani. Melanggarnya sama dengan membohongi diri sendiri. Membohongi orang lain saja tak enak rasanya pikirku, apalagi harus membohongi diri sendiri.
Kemeja hitam lengan panjang yang digulung tangannya dua kali, celana levis biru tua dan sepatu cokelat dengan hiasan logam kepala kelinci telah menjadi kesehariannya. Itulah gambaran awal ketika orang lain bertemu dengannya kesan misterius, bebas dan suka membuat perasaan terbolak-balik. Seakan gambaran itulah yang menjadi konklusi bagi dirinya. Tentulah tak baik untuk membela diri dan mengatakan bukan itu yang sebenarnya, tapi biarlah waktu barangkali mampu menjawabnya dengan baik.

“ kejelasan, aku butuh kejelasan lid ? “ , ungkap Nina padanya.
Khalid dari tadi diam dan tak menjawab, Hot chocolate yang ada di hadapannya sudah tidak sepanas namanya. Abu rokok putih mengotori lantai warung itu, asbak yang disiapkan tidak membuatnya menjadi tertib. Jiwanya ingin bebas, pikirannya pun ingin merdeka. Lampu café itu berwarna kuning sendu, keadaan yang diharapkan Nina adalah keadaan romantik. Tetapi dari tadi sosok yang duduk di depannya hanya sesekali menatapnya. Ia lebih sering memegang pemantik api untuk membakar tembakau racikan Phillip Morris itu. Ya sosok itu hanya sibuk dengan pemantik dan tidak romantik.
Nina dari tadi terus serius dan tetap menutupi rasa muaknya dengan asap tembakau itu, Nina memang benci rokok setengah mati, siapapun yang merokok mulai dari teman sekelasnya sampai tukang parkir akan merasakan tatapan sinisnya bila menghembuskan asap rokok di depannya. Tetapi kebencian itu hilang ketika dia berhadapan dengan Khalid, ia tak mampu untuk mengeluarkan tatapan sinisnya. seketika rasa cintanya telah menghapus kebenciannya.  

“ Apa lagi yang mau kamu minta kejelasannya Nin ? “, Khalid bertanya balik dengan ekspresi datar dan sikap yang benar-benar sangat paling luar biasa cuek.
“ Tentang hubungan kita Lid “, Nina mulai menunjukkan keseriusan tatapannya.
“ kita kan berteman baik nin “, lelaki itu menjawab dengan santai bin keren.
“ aku ingin kamu lebih “, wajah yang serius itu mulai berharap besar.
“ Terus ? “, Khalid meminta petunjuk teknis apa yang perlu dia lakukan.
“ Ya kamu nyatakan cinta dong sama aku “, selayaknya perempuan yang mengutamakan perasaan. Nina yang bingung dengan pertanyaan rasional itu pun menjawab sekenanya.
“ ahahaha ngapain ? “, Khalid yang selalu santai dan humoris mencoba (lagi-lagi) untuk menghindari momen-momen penuh komitmen dan tanda Tanya ini.
“ kamu dari dulu memang gak berubah Lid! Serius dikit coba! “, wanita itu menjadi kesal karena dari dulu tak sanggup mengkondisikan perilaku sosok di depannya sesuai harapannya.
“ Aku ini dari dulu selalu berubah, hanya pikiranmu saja yang tidak dapat menangkap ucapanku dengan serius “, Khalid merasa tidak terima juga kalau dia dibilang tidak serius. Bagi sosok urakan seperti Khalid keseriusan itu bukan ditunjukkan melalui penampilan dan gaya bicara tetapi lebih dari itu, serius adalah sebuah sikap dan ketegasan prinsip.
Bagi sosok seperti Nina, kejelasan hubungan adalah gengsi. Penilaian orang lain, orang tua adalah menjadi indikator baginya dalam menjalani hidup. Berbeda dengan Khalid yang dari dulu selalu merasa dirinya independen bebas dari indikator penilaian orang lain terhadap dirinya. Mereka berdua telah berteman selama 5 tahun. Tetapi Nina teap tidak menyadari betul Khalid tidak bisa diintervensi pemikirannya dengan cara apapun. Malam itu pertama kalinya dalam hubungan mereka sebagai teman baik Nina berteriak nyaring di depan Khalid “ MENYEBALKAN! *sambil memukul-mukul meja bulat bertaplak putih kembang-kembang itu.
Seorang pelayan restoran berambut belah tengah datang dengan wajah bingung, “ mohon maaf mbak, kalau mau manggil pelayan kami berharap bisa lebih sopan “, ucap pelayan itu dengan wajah santun dan ragu.

“ SIAPA YANG MANGGIL KAMU! “, Teriak Nina dengan keras.

Semua orang yang duduk di restoran lambat saji itu melihat ke arah mereka, pandangan mereka yang hiruk pikuk tentu membuat dua sejoli ini tidak nyaman. Apalagi Khalid paling tidak suka diperhatikan dalam kekacauan.

“ Terus mbak ngapain tadi mukul-mukul meja ? “, seloroh pelayan itu dengan wajah ragu sedikit kesal.

“ Mau tau aja urusan orang! Dasar pelayan tukang gossip kebanyakan nonton infotainment “, teriak Nina yang mulai bicara tak masuk akal, sambil berdiri dan mengangkat tas warna jingga yang sangat disayanginya.

“ Ssssst, sudah mas kembali aja ke dapur “ ucap Khalid dengan wajah yang kharismatik. Menenangkan suasana. Nina yang sudah berdiri dan kesal dengan keadaan bergegas untuk meninggalkan Khalid sendiri di meja itu. Khalid tidak mengejarnya, alasannya dua. Pertama Khalid tidak suka mengikuti jalan cerita sinetron dan yang kedua rokoknya baru terbakar setengah batang. Ia paling anti untuk berdiri sebelum rokoknya habis.
Khalid harusnya tahu dari dulu Nina memang suka padanya, tetapi Nina selalu gagal untuk menjadikan Khalid sebagai Pacarnya. Bagi Khalid, Nina sosok yang menyenangkan. Ia pun ingin sebenarnya menjadi pacar seorang Nina, mahasiswi kedokteran berpenampilan muslimah modis ala dian pelangi. Tingginya standar model catwalk dengan mata yang indah, bibirnya tipis merah muda yang membuat wajahnya ayu sekalipun tanpa make up. Siapapun lelaki akan menganugerahkan award kepada Khalid sebagai Mahasiswa bodoh tahun ini apabila ia tidak menjadikan Nina sebagai pacarnya. Karena setiap hari Nina selalu kebanjiran teman baru di Facebook, Follower yang mencapai angka 1 juta di twitter dan para mahasiswa yang mencari PIN BBnya dengan cara bertanya kepada teman baik Nina bernama Raudah.

Tetapi Khalid memiliki prinsip.
dan Khalid paling anti mengecewakan wanita, ia sadar betul ia lahir dari rahim seorang wanita.
Ia tidak ingin Nina menjadi orang yang tergila-gila padanya.
Ia ingin Nina bisa lebih membuka mata melihat sekelilingnya, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa dan tidak layak untuk wanita sebaik Nina.
Nyatanya Nina memang seperti itu, dia tidak kuasa menahan keinginannya untuk bisa lebih dekat dengan Khalid. Nina ingin segera mengenalkan Khalid kepada kedua orang tuanya. Nina ingin Khalid memperhatikannya lebih.
Kharisma Khalid yang selalu di pernah menjadi ketua di organisasi kampus sosial politik, pribadi yang humoris dan populer karena keberaniannya untuk terus maju dalam pentas politik kampus, telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa lainnya.
Nina memiliki analisa dan penangkapan informasi yang tajam, status Khalid di Facebook tak pernah lepas untuk di sukai, kicauan Khalid di twitter selalu di retweet seketika muncul. Apalagi membaca catatan Khalid di Facebook, setiap hari Nina selalu mengulang untuk membacanya, menikmati setiap kata-kata yang dituliskan Khalid.

***
Semenjak kejadian yang tidak direncanakan malam itu, Nina tidak pernah mau bertemu Khalid lagi. Ia telah memendam rasa cintanya dalam tumpukan bunga-bunga layu yang pernah dikirim Khalid. Baginya Khalid hanyalah seorang pecundang yang tidak mau berkomitmen, tidak berani bertemu kedua orang tuanya, tidak berani untuk berjanji, berjanji saja tidak berani apalagi memberi bukti.

Khalid yang dari dulu tidak terlalu komunikatif, memang kesusahan untuk membuat Nina mengerti. Baginya prinsip adalah hal yang tak perlu diumbar lewat mulut, justru harus dibuktikan dengan sikap dan tindakan. Baginya harga diri seorang individu dapat dihargai bila pikiran, ucapan dan tindakannya seiring sejalan seperti roda sepeda. Sekedar komitmen simbolis ala cerita remaja adalah hal yang tidak perlu dilakukan pikirnya.


**
Kampus Universitas Mulawarman siang itu seolah kembali pada zaman dahulu kala, seorang lelaki yang mengenakan selawar levis biru tua memberikan surat yang ditulisnya dengan tangan sendiri kepada Raudah. Raudah yang berwajah imut selalu tampak ceria kemudian menerima surat itu. Khalid berpesan kepada Raudah untuk memberikan surat itu kepada Nina Harun dan jangan pernah membukanya sebelum tanggal 28 september 2012 pukul enam pagi.


 *
28 september 2012, pukul enam pagi. Nina yang semenjak shalat shubuh tadi tidak kembali tidur akhirnya membuka surat dari Khalid.

Untuk Nina Harun

“ Adinda Nina, maafkan Khalid yang tidak pernah berkomitmen apapun kepadamu.
Itu semua bukan tanpa alasan.
Terlalu banyak alasan yang kuungkapkan hanya akan jadi apologiku terhadapmu nantinya.
Hari ini aku berangkat ke Amerika Serikat untuk kuliah sampai selesai doktor disana.
Butuh waktu 5 tahun untukku berteman akrab denganmu sampai kau akhiri semuanya di restoran itu.
Butuh waktu 5 tahun pula untukku mengejar citaku.
Seandainya aku pernah berkomitmen padamu di hari-hari yang lalu, 5 tahunku di AS pasti akan menyakitimu.
Pada prinsipnya aku tak mau engkau terluka.
Jika dalam 5 tahun ke depan kau menemukan seorang lain yang mampu menerangi ruang kosong dihatimu, aku tak keberatan.
Tetapi.
Jika kau tak keberatan, saat aku di AS hitunglah dies natalis universitas mulawarman setiap tanggal 27 september itu. Lewatilah 5 kali dies natalis itu, maka itu setara dengan 5 tahun yang akan datang saat aku kembali.
Dan tepat pukul enam pagi, 5 tahun lagi. Aku akan datang menemui orang tuamu untuk melamarmu.
Jika Nina tidak keberatan itulah janjiku sebagai permohonan maaf tidak pernah peduli dengan perasaanmu. Memang baru sekali ini aku berjanji padamu. Tetapi akan kubuktikan dengan yakin usaha sampai. “

Billahitaufiq wal hidayah
Wassalam


Khalid Mahmud

Joni Bukan Pujangga

sesaat setelah hujan sore itu berlalu, aspal mulai mengering. rumput-rumput mulai tegak berdiri dengan tetesan kecil air yang ada bermukim sementara diantaranya. masih saja terjejal bayangan tentang wajahnya yang kemarin baru saja menolak untuk menerima kenyataan perasaan. 

" hei Jon, kenapa kau murung ?", tanya Rena kepada laki-laki yang berwajah datar itu. 
" oh tidak, aku sedang pura-pura murung saja..", jawabnya dengan santai. seolah ekspresi tadi memang sengaja dibuat-buat. 
Joni sadar beberapa hari ini dia memang tidak bisa membohongi perasaannya, tapi ya dia tetap mencoba untuk berbohong. dunia ini panggung sandiwara menurut judul lagu yang dibawakan Godbless, Joni tidak terlalu hapal liriknya. tapi Insya Allah di bulan puasa ini dia cukup cerdas untuk memahaminya. 

Rena adalah sahabat baik Joni, seorang wanita yang semampai, perilakunya sedikit tomboy tetapi dia termasuk pembela agama Allah karena selalu menggunakan jilbab ketika keluar rumah. Joni sendiri sering mendapat kultum karena jarang melaksanakan kewajiban agama. mereka sore itu bertemu di djoeragan kopi.  

seperti layaknya anak muda lain yang pernah terlibat dalam perkara cinta monyet, Joni kemarin mencoba pula untuk terlibat dengan menembak seorang wanita yang tinggal dekat rumahnya. sebenarnya Joni hanya ingin membuktikan analisanya terhadap perasaan wanita itu, karena setiap ingin berangkat shalat tarawih di bulan puasa ini. Joni seringkali ditegur dengan senyum yang sangat membuat penasaran. 

" Dina, aku ingin bertanya padamu apakah engkau menyukaiku ? aku ingin terus terang karena senyummu menyatakan bahwa kau suka", joni menyatakan perasaannya dengan gamblang dan tanpa beban. Dina, anak Imam masjid dekat rumahnya itu hanya tertunduk dan diam. 

cara yang ditempuh joni memang sangat tidak lazim karena menyatakan cinta tanpa menggunakan sedikitpun sentuhan pujangga. 
di era transformasi, dimana twitter telah menjadi media komunikasi dan google sudah menjadi sahabat akrab mahasiswa dalam mengerjakan tugas. masih ada lelaki seperti Joni yang berani dengan lugas menyatakan cinta berbeda cara dengan mayoritas anak muda yang sudah lihai karena membaca panduang menyatakan cinta di Internet. sungguh ironis. 

Seperti bunga yang layu terinjak, Dina hanya menanggapi ungkapan perasaan Joni dengan gelengan kepala ke kiri dan ke kanan. 

OFFSIDE! ya benar seperti striker di permainan sepak bola, Joni merasakan ternyata dia offside. dan ungkapannya hanya ditanggapi dengan gelengan kepala. 

itulah alasan mengapa hari ini dia murung duduk di djoerkop, bersama Rena sahabat baiknya. Joni tak tahu alasan mengapa dia ditolak, wajahnya padahal cukup tampan dengan rambut sisir ke belakang ala mafia italia, wajah yang masih satu ras dengan Osama bin Laden. baju flannel merah yang tidak ketinggalan dengan celana leecooper robek di bagian lutut. kemurungannya hanya menjadi sebuah pelajaran baginya tentang cinta masa kini yang mengharuskan seseorang mestilah keren dalam menyatakan cintanya. 

Rena sore itu pun menghiburnya dengan mengatakan " sudahlah Jon, tak usah kau pikirkan lagi". Joni hanya tertawa seraya menjawab " aku hanya mencoba untuk berekspresi seperti anak muda kebanyakan Ren". Rena pun bingung dan tak menyangka dengan jawaban Joni yang blak-blakan. 

Rena sebenarnya ingin meng-upgrade hubungannya dengan Joni sore itu menjadi pacar, tetapi sudahlah Joni bukan tipenya. karena Joni bukan pujangga yang pandai merangkai kata. 

Matahari yang mulai menghilang sore itu di arah barat, menyisakan lembayung indah di langit. Joni tanpa beban melewati setiap waktunya dengan lawakan-lawakan konyol, Rena terus menunggu kapankah waktu sahabatnya menjadi Pujangga dan mampu menyatakan perasaannya secara lebih baik. berhentilah berharap Ren, Joni masih seperti dulu dan betah seperti itu. 

So Far Away

   
di tengah liburan semester saat aku duduk di bangku kelas dua SMA.
Udara begitu cerah, suhunya 21 derajat selsius. angin bertiup-tiup sangat ramah. aku termasuk orang yang dianggap Gila oleh penduduk asli Brighton ini. karena aku selalu menggunakan sweater. 21 derajat selsius itu sama dengan tidur di sebuah kamar Indonesa yang menggunakan AC kawan!!!  Masyarakat yang hidup dan berkehidupan di kota ini menyebutnya sebagai Summer Time Geezer! mereka biasa mengenakan pakaian yang terbuka dan santai karena menurut mereka cuaca sangatlah panas. Aku seorang remaja berumur 16 tahun yang terdampar jauh di kota yang bahkan tidak pernah ku tahu namanya sebelumnya. Brighton Hove, sebuah kota di pesisir Inggris yang berseberangan langsung dengan Prancis. kota tersehat di dataran Inggris raya, dengan usia harapan hidup manusia mencapai angka 78 tahun.
Aku yang telah tinggal beberapa waktu, mulai membiasakan diri dengan gaya hidup masyarakat yang bagiku aneh ini. mereka berjalan kaki untuk berkeliling kota, naik bus kota untuk berpindah, sesekali motor besar lewat itupun dapat ku simpulkan bukan karena tidak bisa membeli mobil pribadi melainkan orang itu adalah penggila motor. Motor bebek seperti banyak di negeri asalku tak ku lihat satupun. wow.

Aku tinggal di rumah Mrs. Julie Pumfrey, seorang Ibu dengan 3 orang anak. termasuk orang tidak mampu di Inggris karena tidak punya mobil pribadi. rumahnya semacam flat dengan 2 lantai, dia punya 1 kulkas, 1 mesin cuci, 3 televisi, 1 PS2. standar hidupnya baik sekali, Mrs. Julie punya jadwal ketat untuk masalah makan. apabila aku terlambat pulang ke rumah maka otomatis dia tidak akan menyiapkan makanan.

Aku bertemu dengan temanku Koko jam delapan pagi di churchill square, dia juga merupakan peserta program belajar budaya masyarakat Inggris dengan program Homestay dari EF. Koko seumur dengan aku, bedanya aku dari kaltim dan dia dari jateng. Churchill square merupakan pusat kota Brighton hove, tidak ada satupun rumah penduduk di sekitar wilayah Churchill Square. wilayah ini khusus menjadi tempat niaga, tempat wisata dan sentral dari lalu lalangnya bis kota. begitu rapi, indah dan jarang sekali ada sampah berserakan. Starbucks coffee menjadi tempat berkumpulnya anak muda kota Brighton. aku yang tidak begitu menyukai fast food seringkali hanya lewat dan melihat-lihat saja. sesekali aku dan teman-temanku termasuk Koko makan di Chinese Food. kami senang bila makan di Chinese Food, karena tukang masaknya adalah orang malaysia. sehingga aku sangat mudah berkomunikasi dan meminta makanan yang sesuai prinsip.

Masyarakat Kota Brighton sangatlah disiplin terlebih individualis. mereka tidak akan peduli terhadap hal-hal yang bukan jadi urusan mereka. Siang itu merupakan hari terakhir kami berada di kota Brighton, aku yang senang berjalan-jalan memutuskan untuk mengikuti Koko yang katanya ingin membeli dasi. sembari melihat-lihat dasi aku bertanya kepada Koko " kamu beli dasi untuk siapa ko ? ", tukasku. Koko tetap asyik melihat-lihat motif dasi sambil dengan serius menjawab " aku mau beli dasi untuk Bapakku, Bapakku itu sosok yang sangat ku hormati ". Aku terheran-heran, jauh maju sekali cara berpikirnya. aku dengan santai pun ikut melihat-lihat dasi yang bermotif unik ala orang Inggris itu. aku pun membeli satu dasi untuk ayahku berwarna kuning, bercorak kotak-kotak.

Merah ! Panas ! mengalir secara mengejutkan ! pikiranku menjadi kacau !
Aku berlari meninggalkan Koko, dengan cepat aku menyusuri pinggiran jalan depan pertokoan churchill square. Tujuanku satu! sebuah Shopping center yang terletak pas di tengah Churchill Square. Aku berlari sambil memegang hidungku, darahnya merembet melewati sela-sela jari tanganku. beberapa manusia dari berbagai ras hampir saja ku tabrak. kepedulian mereka terhadapku tidak ada! mereka hanya melihatku yang sedang berlari tanpa ada pertolongan. sesekali ku lihat wajah mereka menaruh simpati, tetapi mereka terus berjalan dan tidak menolongku. aku berlari sangat cepat, ku naiki tangga di Shopping center menuju ke lantai teratas karena hanya disitu aku ingat ada kamar kecil yang akan sangat membantuku. Akhirnya! aku masuk dan membasuh tanganku, begitu juga hidungku. Aku MIMISAN kawan! maklumlah, fisikku termasuk agak susah menerima perubahan drastis cuaca. hal inilah yang mengakibatkan hidungku mengeluarkan darah. setelah aku selesai membersihkan darah-darah di tanganku , perlahan Mimisan mulai berhenti. aku pun keluar dari kamar kecil itu, tak ku sangka di depan kamar kecil itu Koko duduk dan menunggu. dia membawakan aku tissue sebagai bentuk kepeduliannya, aku sangat berterima kasih. Momen yang susah untuk terlupakan. dimana aku harus menerima kenyataan, dan ternyata teman yang baru aku kenal di Inggris raya ini sangatlah baik dan paham dengan apa yang sedang dihadapi oleh orang lain.

Kini aku telah di ujung waktu kuliah. mata kuliahku telah habis, tinggal skripsi yang harus ku selesaikan.
cerita itu berkisar 5 tahun yang lalu, aku mengingatnya lagi tadi malam saat duduk bercengkrama di rumah kawanku Qadri. saat asyik bercerita. aku memegang hidungku karena terasa ada cairan, dan setelah aku melihat tanganku ternyata darah! aku bergegas ke kamar mandi, Qadri pun mengambilkan tissue.

di dalam kamar kecil itu, ingatanku berputar-putar. kisah yang pernah terjadi suatu hari di kota brighton pun keluar dari penyimpanan ingatan. aku menulisnya agar ingat. aku memang beruntung, kenangan di kepalaku bagaikan potongan-potongan film penuh suasana. Tuhan telah menganugerahkan kepadaku Ingatan yang baik.

Momen itu teringat menyeruak di dalam kepala, menyentuh setiap sendi pikiran, aku teringat kawan baikku Koko yang sudah tidak ku tahu dimana rimbanya. sesekali ku dengar kabar dia kini kuliah diluar negeri oleh beberapa kawan yang juga telah lost contact. tapi aku tetap tidak mengetahui dimana dia berada...

kebaikan itu akan ku lanjutkan kawan!

Minggu, 26 Februari 2012

Melawan kenaikan BBM

AKSI KENAIKAN BBM TAHUN 2008 DI KALTIM


Samarinda(27/2/2012) - April mendatang pemerintah berencana akan menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6000 per liter. Hal ini tentu akan mempengaruhi tarif angkutan kota, tarif dasar listrik dan juga harga sembako. akankah mahasiswa Kaltim bersatu kembali untuk menolak kenaikan BBM !





Kamis, 26 Januari 2012

Rabu itu untuk kita

Tok.. tok.. tok.. " woi bangun woi!!! ", terdengar suara Yogi mengetuk kamarku dengan suara yang nyaring. aku baru saja terbangun karena ketukan itu. pagi itu rencananya kami ingin rekreasi ke pantai manggar. Ide itu berasal dari Yogi, kawanku yang senang rekreasi dan melewati kebersamaan. Aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas untuk mandi. Saat sudah siap aku turun ke bawah, ternyata belasan orang telah siap untuk berangkat ke pantai. Pantai Manggar Balikpapan lah tujuan kami saat itu, temanku sempat usul untuk pergi ke Mall. Untuk apa kita ke Mall gerutuku, karena Mall juga banyak di Samarinda. Kami pun berangkat dengan dua mobil, aku membawa mobil SX4 dan Yogi membawa mobil Xenia yang kami carter dengan uang patungan. Ini kedua kalinya Yogi membawa mobil keluar kota, dia baru saja belajar mobil beberapa bulan ini. Tetapi soal kecepatan jangan diragukan, Yogi selalu didepan dengan kecepatan luar biasa. Sekalipun lambat, kata seorang temanku di mobil " Slow But Sure " benar-benar menikmati perjalanan. Bahkan ia sempat meng-updatenya sebagai tulisan di twitter. Iringan musik Elegi Esok Pagi menjadi nyanyian perjalanan kami siang itu, sekalipun harus berdesakan di dalam mobil, suka cita bersama kami dalam perjalanan di rabu siang itu. 

*** 

Sesampainya di Balikpapan kami langsung menuju rumah Ari, dan disambut oleh keluarganya baik sekali, ternyata oran tua Ari telah siap dengan makan siang yang sangat lezat sekali. Saat keluar dari gang rumah Ari, aku baru menyadari ternyata rumah Ari dekat sekali dengan rumah Almarhum Kakekku karena sama-sama di Gunung Sari. Setelah itu mobil kami mengarah untuk pergi ke pantai merealisasikan agenda yang sesungguhnya! berenang dan naik banana boat. Dari jam tiga sore sampai jam enam, kami bermain di air laut yang asin itu. Kawanku yang belum bisa berenang belajar untuk bisa berenang. Aku sesekali juga ikut untuk mengajari berenang, saat mengajari kawanku berenang aku teringat saat aku diajarkan oleh Ayahku untuk berenang di sungai keledang tepatnya di belakang rumah nenek Onoy. Aku di lempar oleh Ayah ke sungai Mahakam berdua kakakku.Kami pun hampir tenggelam, Ayahku mengatakan " tidak ada yang akan membela dirimu sendiri kecuali kamu sendiri di alam ini, alam akan membelamu ketika kamu membela dirimu terlebih dahulu! ". Dengan Spontan aku dan kakakku bisa berenang karena kami tidak ditolong oleh Ayah. Ternyata dibalik lemparan ke sungai itu Ayah sedang ajarkan kami untuk mandiri dan tidak pasrah dengan keadaan.

***

Saat sebelum pulang kami diajak oleh Ari makan Salome di lapangan merdeka Balikpapan. Setelah itu kami bergegas untuk pulang ke Samarinda. Dalam perjalanan pulang itu, tape mobil kami matikan. sengaja, agar kami bisa bercerita, berteka-teki dan curhat. Kawanku Heri menceritakan bagaimana ia bertahan dalam kondisi yang sulit saat ditinggal oleh mendiang Ibunya, juga Ayahnya yang menyusul kemudian untuk pergi. Juga Aya yang menceritakan bagaimana perasaan ketika Ibunya telah lebih dulu meninggalkannya. Uwie pun memiliki cerita yang tak kalah menyedihkan saat ia harus ditinggal pergi oleh Ayahnya. Aku yang masih memiliki Ayah dan Ibu pun dapat merasakan bagaimana perasaan mereka. Sangat berat kejadian-kejadian itu mempengaruhi hidup, tapi aku bangga dengan mereka yang mampu bertahan dan tetap bisa bertahan. Itulah Takdir Tuhan yang kemudian tak bisa ditawar lagi.

***

Ku lihat ke bagian belakang mobil, Nurul meneteskan air matanya. Dia memegang tissu, aku pun dipersilahkan oleh mereka untuk berbagi cerita. Aku bercerita tentang bagaimana Ayahku yang tak bersalah harus masuk dalam ruangan hina yang bernama penjara, ketika itu air mataku menetes. Saat Ayah mendapat vonis bebas di pengadilan pun air mataku kembali menetes. Icha duduk di belakang dengan diam karena maag-nya kambuh, tak lupa pula dalam keadaan sakit itu Icha bercerita tentang bagaimana Ibu dari kekasihnya meninggal dunia kemudian disusul dengan saudara orang tuanya. Aku bisa menahan perasaan untuk tidak meneteskan air mata saat mendengar cerita mereka. Bukan karena tidak berperasaan, tapi sebagai lelaki aku harus menunjukkan bahwa aku mampu untuk tegar. Aku menyadari skenario Tuhan lah yang membawa kita kepada keadaan-keadaan yang tak pernah kita kira. Dan kita sebagai manusia mestilah tegar.


Aku tak menyangka perjalanan yang merupakan inisiatif Yogi untuk bersenang-senang, menimbulkan hikmah yang mendalam bagiku secara psikologis. Aku banyak mendengar cerita, juga bercerita kepada mereka tentang pengalaman dalam hidupku yang baru sedikit dan belum berliku. Mereka yang ikut dalam perjalanan ini adalah teman-teman kelasku di program studi Administrasi Negara. Kami tidak terlalu akrab di kampus, bahkan aku tidak tahu apa masalah-masalah yang menimpa mereka. Perjalanan ini telah beri kami kesempatan untuk saling mengetahui satu sama lain. Nurul mengatakan kepada kami " lebih baik berteman itu tidak begitu akrab, tetapi selalu ada ketika dibutuhkan dan jangan seolah-seolah akrab tapi ternyata saling meninggalkan ketika dibutuhkan ". Aku pun mengangguk dalam diam, ternyata pertemanan adalah hal yang harus terus dipelihara. Perjalanan itu mungkin tidak akan terulang lagi, karena kami telah berada di penghujung muda. Sebagian kawan kami telah menjadi sarjana, sebagian lain sedang dalam proses tugas akhir kuliah. Perjalanan itu akan jadi kenangan, suatu saat nanti kita akan mengingatnya sebagai rangkaian episode masa lampau.
Aku senang berkawan dengan kalian kawan, doaku adalah kita semua harus sukses di masa depan.

Cerita ini ku tulis dengan judul rabu itu untuk kita, karena pada hari itu kita bersama seharian meluangkan waktu penuh kebersamaan.


Mengenang Hari Rabu 25 Januari 2012,





ditulis pada 27 Januari 2012
pukul 01.50 Wita di kamar Pramuka 19.