Bagi sebagian orang yang menyukai sesuatu yang instan barangkali gelar sarjana adalah hal yang terjangkau untuk dibeli, tapi bagi orang-orang yang menikmati perjuangan mencapai gelar sarjana adalah sebuah pencapaian Ikhtiar dan keniscayaan Takdir. Tantangan menggapai gelar sarjana itu ada dua, pertama tantangan teknis seperti susahnya mencari referensi, sulitnya bertemu untuk konsultasi dengan dosen dan revisi yang datang bertubi-tubi. Kemudian tantangan yang kedua adalah tantangan psikologis seperti rasa traumatik yang berlebihan karena pernah dimarahi dosen akibat kesalahan yang tidak juga fatal, rasa malas berkepanjangan dan penyakit suka menunda urusan di hari selain senin ( karena beranggapan semua masalah akan beres bila kita bisa bangun hari senin pagi ) Hari senin dianggap hari paling punya peluang untuk ketemu dosen dan staff akademik untuk berurusan padahal tidak bisa bangun juga kadang, akhirnya mengulang menunggu hari senin lagi senin lagi.
Dalam pada itu Mahasiswa tingkat akhir saya klasifikasikan menjadi dua, yaitu tipikal "pemikir keras" dan "pekerja keras".
Pemikir keras adalah orang yang belum juga mengajukan judul tapi dia sudah menentukan hasil lewat pikirannya, hal ini membuat dia tidak pernah percaya pada kekuatan nasib. Sesudah judul diterima, begitu ingin maju konsultasi dia merevisi skripsinya sendiri berkali-kali sebelum direvisi oleh dosen. Padahal secara gamblang kita semua tau, tugas dosen adalah merevisi. Para dosen digaji untuk merevisi, sudah barang tentu kita seharusnya tahu dan paham kita hanya cukup mengerjakan. Biar revisi dipikirkan oleh dosen.
Yang kedua adalah tipe "pekerja keras", inilah tipikal yang membuat orang lulus cepat bahkan cum-laude. Panas, hujan, siang dan malam dia terus mengerjakan skripsinya tanpa pernah merevisinya sendiri. Kadang saking semangatnya latar belakang penelitian yang seharusnya ditaruh di BAB I justru dia letakkan di BAB IV, hasilnya adalah dimarahi bahkan ditertawai dosen habis-habisan. Tetapi tak kenal menyerah, amarah dosen justru dijadikannya pecutan keras di jiwanya hingga ia mampu menyelesaikan skripsi sesuai dengan harapannya.
***
Menuju seminar proposal saya punya pengalaman unik karena saya salah mencatat nomor telepon dosen pembimbing, begitu saya sampai ternyata saya salah alamat. Alhasil saya kena marah oleh dosen salah alamat itu. Karena mental saya baja, saya meminta maaf baik-baik dan berdiskusi dengan dosen itu. Untungnya dosen yang saya salah datangin rumahnya itu adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi yang juga saya ikuti selama kuliah sebagai tempat pengabdian terhadap Ummat Bangsa.
Seminar demi seminar saya lewati dengan mental sekeras baja, bangun pagi dan membeli makanan terenak di kota samarinda, menyiapkan pakaian terbaik dan menyebar undangan untuk seminar. Kesana Sini berkeliling mengurus berkas agar semua terlengkapi. Belum lagi teriakan keras dosen di ruang seminar, revisi yang kadang tidak saya pahami apa maksudnya, dan galau sana sini menunggu dosen yang kadang suka membuat hati resah karena tidak menjawab telpon. Semua hal rumit dan menggalaukan itu tidaklah membuat saya gentar untuk mencapai gelar sarjana.
***
Saat sebelum yudisium akan dilaksanakan PD 3 menelepon saya dan mengatakan saya harus jadi perwakilan yudisiawan, menyampaikan kesan dan pesan. Biasanya yang mewakili yudisiawan adalah mereka yang cum-laude dan memiliki IPK tertinggi. Tetapi Pak Heriono mengatakan bahwa saya lah orang yang paling tepat untuk berada di podium itu. Entah alasannya apa, saya tidak ingin berekspektasi berlebihan karena hanya akan menyebabkan saya terkena penyakit Gigantisme aktivis.
Yang saya lakukan adalah memberikan sambutan kontekstual, berterima kasih kepada dosen atas bimbingan dan ujiannya, orang tua dari kampung halaman yang telah berdo'a, mendorong, mengirimkan dana agar bisa lulus dan menebar harapan kepada kawan-kawan yudisiawan agar memiliki cita-cita besar menjadi kepala daerah di daerah asalnya masing-masing serta sebuah pantun ceria yang disambut meriah oleh hadirin.
*
Akhirnya besok sudah waktunya untuk wisuda, dengan segala kerendahan hati saya bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah membuat skenario indah bagi saya dalam usia muda ini, saya mencapai gelar sarjana sosial bidang ilmu administrasi negara dalam usia 21 tahun.
Pada umur 23 nanti saya ingin mencapai gelar magister administrasi publik di Universitas Indonesia dan menggapai gelar Doktor Administrasi Publik di Harvard Kennedy School Amerika Serikat di usia 26.
Dari TK sampai lulus SMA saya lalui di ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, masa aktivis Mahasiswa S-1 saya lewati di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, S-2 ingin saya jalani di Ibukota NKRI, dan gelar Doktor akan saya capai di Ibukota dunia internasional tempat semua bangsa berkumpul dan berkompetisi Amerika Serikat.
Semua pilihan itu saya ambil demi keluar dari zona nyaman, demi kebijaksanaan hidup, demi Iman dan Taqwa yang lebih kuat di hari-hari akan datang dan demi masa lalu yang terlewati dan cita-cita yang tergantung di langit tinggi.
Jalan-jalan ke pasar segiri, jangan lupa membeli ikan
Perkuliahan telah kita akhiri, semoga sukses di masa depan!
saya... butuh... mental baja itu.. dan semangat ukbm yang membara di kelas 2 sma:(
BalasHapus