" Di saat kita merasa diri kita kalah
lihatlah ke belakang kita, terkapar orang lain yang lebih kalah "
- Azwar
Sebuah kisah tentang Dunia Politik Mahasiswa
Semoga bisa Menginspirasi teman2 Mahasiswa semua...
Malam hari, aku keluar dari kampus setelah penghitungan suara pemilu selesai.
Aku melewati taman-taman kecil yang menghiasi kampusku, pohon2 besar menemani langkah bayanganku. sesekali kendaraan bermotor lewat dan cahayanya membasahi wajahku.
aku ingin sekali langkahku ini membawaku sampai di rumah, karena aku mencium bau tidak enak dari Kertas suara yang dibakar setelah di robek dan dihitung. suasananya begitu panas dan aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan.
Adalah kebodohanku ketika melakukan sesuatu tanpa ingin repot, aku ingin segala sesuatu dikerjakan dengan mudah tanpa harus kerja keras. Seharusnya kemarin aku mampu terpilih sebagai Presiden BEM Universitas di kampusku. kalau saja aku mau melakukan sesuatu yg telah ku rancang sebelumnya, tapi nyatanya aku sendirilah yang tidak mau melakukan semua itu karena bagiku merepotkan.
Memang itulah karakter hampir kebanyakan Mahasiswa zaman skrg pikirku, tidak mau repot, cuek dan cenderung suka bersenang-senang. Aku duduk dan menghisap rokok di pinggir jalan depan kampusku, aku berpikir tentang kegagalanku merebut kursi pimpinan mahasiswa tertinggi di kampusku.
" Sudah seperti ini, ke mana org2 yg kemarin mendukungku?" teman-temanku yang semula menjadi tim suksesku saat pencalonan, skrg menjadi penjilat di kubu lawan. mereka melakukan itu karena mereka takut apabila tidak memiliki jabatan maka mereka tidak akan dipandang sebagai Aktivis kampus.
Cewe-cewe kampus yang dulu menjadi fansku pun mulai tidak menyenangiku, karena mereka menganggap aku orang yang kalah dan tidak punya banyak pendukung.
Aku Marah, " aku ini hebat, bayangkan aku mampu mengumpulkan 113 suara mahasiswa di seluruh fakultas sedangkan lawanku hanya mampu mengumpulkan 13.000 suara di seluruh fakultas"
...
Sepertinya memang aku adalah kalah dan kalah adalah diriku, ku ingat-ingat kembali apa yang telah ku lakukan. kelalaianku adalah tidak mau terjun langsung ke mahasiswa untuk bersosialisasi. ku kira dengan wajah yang tampan, otak yang cerdas, retorika yang bagus, gaya yang stylish, pemikiran yang kritis, punya banyak teman maka aku akan terpilih sebagai Presiden BEM dengan mudahnya. ternyata iklim Mahasiswa hari ini adalah manifestasi dari iklim Masyarakat luas. Mahasiwa hari ini mayoritas apatis dengan keadaan kampus maupun Negara. Sebagian besar dari mereka memanfaatkan waktu untuk Datang, Duduk, Diam dan pulang Tidur.
Tapi sudahlah, bukan itu yg jadi masalah hari ini.
Aku adalah orang yang kalah, nasibku sial. aku orang yang bodoh dan lalai.
Mungkin kegagalanku ini juga karena aku jarang beribadah?. atau mungkin karena aku tidak minta di doakan dengan orang tuaku? atau jangan-jangan karena aku tidak suka menonton Film India---- Loh apa hubungannya?? aku mulai jadi gila karena kekalahanku
Karena seharusnya sekarang aku sudah menjadi Presiden BEM yang dengan begitu gagahnya berjalan di tengah2 mahasiswa/i kampusku. Mahasiswa/i akan menegurku dan bangga saat aku membalas teguran mereka.
Aku tenggelamm dalam kepesimisanku,
aku resah dengan kemampuanku
Aku tidak mampu untuk menang di dalam pertarungan
aku takut untuk mencoba lagi
Aku pasti Kalah seterusnya dalam kehidupan ini...
malam hari Dalam perjalanan pulang ke jln. Pramuka, aku mengeluh dan resah dengan nasibku yang jelek saat merebut kursi Presiden BEM. Aku menggerutu sendiri, marah dengan keadaan yang tidak enak.
aku menyusuri pinggiran lapangan bola pramuka, di depanku tempat sampah yang baunya amis.
aku terkejut karena aku tak menyangka, ada seorang lelaki tua yang terbaring di dalam sana.
aku mengira ia sudah mati " Pak, bangun" tegurku
ia terbangun seraya berucap alhamdulillah...
"terima kasih nak telah membangunkanku, aku tadi sedang bekerja memilah sampah-sampah ini... agar sampah kimia bisa di daur ulangg dan sampah yang basah bisa kembali menyatu dengan tanah.
tetapi diluar dugaaan aku tertidur karena aku lelah."
aku bingung melihat manusia satu ini, bajunya lusuh, Kakinya berkoreng dan wajahnya pun sangar.
Aku kemudian bertanya " Mengapa engkau tadi mengucapkan hamdalah/syukur saat kau ku bangunkan Pak tua?".
wajahnya menunduk dan tersenyum kecil "untuk apa aku mengeluh lagi dengan keadaanku ini?" ia kemudian melanjutkan bicaranya "aku sudah menemukan nikmat kehidupan ini anak muda. aku selalu bersyukur ketika aku habis kencing ataupun habis berak".
Aku bingung dengan orang ini, bahasanya tidak menggurui tetapi begitu dalam masuk memenuhi relung jiwaku. Membuatku ingin bertanya lagi " kenapa kau bersyukur ketika kau bisa kencing dan berak?"
Ia menjawab dengan wajah sangarnya yang terkesan dingin itu " Saat aku bisa kencing ataupun berak sesungguhnya badanku adalah tekhnologi terhebat yang pernah ada di muka bumi ini ". " Tubuh kita memprosesnya dengan berbagai kerja di dalamnya, Bagiku itu sungguh hebat dan aku berterima kasih pada Tuhan akan hal itu" jelasnya.
Aku terperangah mendengarnya, tidak ku sangka orang yang keliatannya tidak berpendidikan ini, mampu menjelaskan sesuatu yang sederhana tetapi sangat berarti bagi kehidupan.
tetapi tidak cukup, bagiku orang ini adalah orang yang tidak mengerti apa2 tentang Politik.
dia hanya berbicara sesuai pengalamannya, tetapi dia tidak mengerti teori pikirku.
aku kemudian dengan lantang bertanya kembali, berharap ia tidak mampu menjawab pertanyaan mahasiswa yang sulit-sulit " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" , dia pasti tidak mengerti dengan pertanyaanku dan dia juga tak akan mampu menjelaskan apapun.
Bapak tua itu diam dan mengambil sampah-sampah dari plastik dan kain. dia membentuknya menjadi seperti bola sepak, tidak bulat sempurna tetapi mampu menggelinding.
Ia kemudian mengajakku bermain bola di lapangan bola pramuka, lapangan hijau yang penuh dengan rumpit liar yang panjang dan tak terawat. aku heran ia belum juga menjawab pertanyaanku. " Ayo tendang bolanya, kita main pinalty kick" ia memutuskan untuk menjadi penjaga gawang dan aku menjadi penendang". ia memberi arahan kepadaku "kau harus menendang dengan keras dan penuh keyakinan". aku bingung, apa yang mau dia lakukan dengan bermain bola berdua di malam hari ini seperti ini. aku pun ikut saja karena aku masih penasaran dengan jawabannya.
aku menendang dengan keras, tak ku sangka bapak ini ternyata lincah sekali menjadi penjaga gawang.
" AYo semangat anak muda, masa' tdk bisa GOL sih??"
Aku menendang terus dengan wajah tersenyum ceria, akhirnya aku mampu menendang dengan baik dan menciptakan 1 GOL. setelah belasan kali menendang akhirnya tercipta sebuah gol.
Aku duduk kelelahan, bapak tua itu berdiri di depanku dengan gayanya yang dingin.
" Kau tidaklah kalah anak muda dalam meraih mimpi, hanya saja kau tak mau mencoba kembali apa yang pernah kau lakukan. Usaha itu adalah Ikhtiar, sedangkan nasib itu adalah Takdir. Manusia berusaha sebaik mungkin, Tuhan yang akan menentukan hasilnya " dia mulai memberikanku pencerahan.
" Saat kau menendang Bola tadi anggap saja kau sedang berusaha, dan saat kau mampu mencetak Gol itu adalah cerminan saat kau sukses. artinya jelas bahwa kau sebenarnya akan sukses meraih mimpi ketika kau berusaha dengan keras dan mencoba terus ".
aku mulai terpesona dengan apa yang dikatakannya, tetapi aku mengungkit lagi pertanyaanku yang masih belum di jawabnya tadi. aku mengulang pertanyaanku " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" .
Ia dengan bijak menyatakan " kau harus tetap bersyukur anak muda!! "
Aku butuh alasan " mengapa aku mesti beryukur, padahal Hidup ini tak adil" sanggahku
Bapak tua itu kini menyuruhku untuk meminum air yang dibawanya, " Minumlah ini nak" sembari ia menyerahkan botol air itu kepadaku.
" minumlah air itu, tetapi jangan kau telan dahulu sebelum aku selesai menjawab pertanyaanmu"
Bapak tua itu bersuara dengan keras " apapun yang kau alami kau harus bersyukur, karena rasa bahagia maupun kecewa itu adalah nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita nak " ia melanjutkan
" Hal yang patut kau syukuri dari kekalahanmu adalah kau menjadi sempat untuk merenung dan berdiskusi dengan orang tak berpendidikan sepertiku, coba kau bayangkan seandainya kau terpilih?"
...
aku berpikir betul juga apa yang dikatakan bapak tua ini, air masih dimulutku dan belum ku telan.
" Seharusnya kau bersyukur, kau masih mampu kuliah dan beraktivitas".
wajahku mengeluarkan ekspresi bertanya
" Aku seorang Ayah, anakku seorang lelaki yang cacat fisiknya. ia Buta dan tidak bisa melihat apa-apa. Aku tetap bersyukur karena aku yakin Tuhan bukan memberikan Takdir yang buruk kepadaku tetapi Tuhan telah menentukan skenario terbaik untuk kehidupanku. Anakku itu tidak dapat melihat, tetapi ia mampu bermain musik dengan baik. banyak orang yang kagum kepadanya dan mengundang ia untuk mengisi acara musik dimana-mana" bapak tua itu menjelaskan dan betapa bangganya ia dengan prestasi yang dimiliki anaknya.
Aku semakin tersadar bahwa aku adalah manusia yang beruntung tetapi sering mengeluh dengan keberuntunganku, aku tidak memiliki kecacatan, orang tuaku mampu, aku bisa kuliah, aku bisa semuanya. aku hanya gagal dalam persaingan politik.
Aku menelan air yang dari tadi ku tahan dimulut itu
" Aku minta maaf karena aku sudah pesimis pak " ucapku kepada bapak tua itu..
Ia menyergah ucapanku " Kau tidak perlu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada dirimu sendiri. karena selama ini kau telah menginjak-injak harga dirimu sendiri hanya karena satu hal". bapak tua itu mengutarakan dengan bijak pandangannya
" Jika hari ini kau gagal meraih sesuatu yang ku tak tau apa itu, besok kau harus kembali mencobanya dan meraihnya" .
Aku pun meminta maaf kepada diriku, dan diriku memaafkannya
aku berjanji dalam diriku sendiri " aku akan mencobanya lagi tahun depan, apapun hasilnya aku akan tetap bersyukur dan ikhlas "
Aku kemudian berpamitan dengan bapak tua itu, aku mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup yg diberikannya..
Aku mulai berjalan meninggalkannya, Bapak itu mulai mengerjakan kembali pekerjaannya memilah-milah sampah. aku tenang dalam perjalanan pulang itu, tak ada rasa gundah sedikitpun dalam diriku, tak muncul sekalipun keluh kesah dari mulutku, aku sadar betapa pentingnya rasa syukur dalam menghadapi kehidupan ini. terima kasih bapak tua, telah mengajarkanku cara berterima kasih kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar