Sebuah prinsip adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi, karena itu telah menjadi nurani. Melanggarnya sama dengan membohongi diri sendiri. Membohongi orang lain saja tak enak rasanya pikirku, apalagi harus membohongi diri sendiri.
Kemeja hitam lengan panjang yang digulung tangannya dua kali, celana levis biru tua dan sepatu cokelat dengan hiasan logam kepala kelinci telah menjadi kesehariannya. Itulah gambaran awal ketika orang lain bertemu dengannya kesan misterius, bebas dan suka membuat perasaan terbolak-balik. Seakan gambaran itulah yang menjadi konklusi bagi dirinya. Tentulah tak baik untuk membela diri dan mengatakan bukan itu yang sebenarnya, tapi biarlah waktu barangkali mampu menjawabnya dengan baik.
“ kejelasan, aku butuh kejelasan lid ? “ , ungkap Nina padanya.
Khalid dari tadi diam dan tak menjawab, Hot chocolate yang ada di hadapannya sudah tidak sepanas namanya. Abu rokok putih mengotori lantai warung itu, asbak yang disiapkan tidak membuatnya menjadi tertib. Jiwanya ingin bebas, pikirannya pun ingin merdeka. Lampu café itu berwarna kuning sendu, keadaan yang diharapkan Nina adalah keadaan romantik. Tetapi dari tadi sosok yang duduk di depannya hanya sesekali menatapnya. Ia lebih sering memegang pemantik api untuk membakar tembakau racikan Phillip Morris itu. Ya sosok itu hanya sibuk dengan pemantik dan tidak romantik.
Nina dari tadi terus serius dan tetap menutupi rasa muaknya dengan asap tembakau itu, Nina memang benci rokok setengah mati, siapapun yang merokok mulai dari teman sekelasnya sampai tukang parkir akan merasakan tatapan sinisnya bila menghembuskan asap rokok di depannya. Tetapi kebencian itu hilang ketika dia berhadapan dengan Khalid, ia tak mampu untuk mengeluarkan tatapan sinisnya. seketika rasa cintanya telah menghapus kebenciannya.
“ Apa lagi yang mau kamu minta kejelasannya Nin ? “, Khalid bertanya balik dengan ekspresi datar dan sikap yang benar-benar sangat paling luar biasa cuek.
“ Tentang hubungan kita Lid “, Nina mulai menunjukkan keseriusan tatapannya.
“ kita kan berteman baik nin “, lelaki itu menjawab dengan santai bin keren.
“ aku ingin kamu lebih “, wajah yang serius itu mulai berharap besar.
“ Terus ? “, Khalid meminta petunjuk teknis apa yang perlu dia lakukan.
“ Ya kamu nyatakan cinta dong sama aku “, selayaknya perempuan yang mengutamakan perasaan. Nina yang bingung dengan pertanyaan rasional itu pun menjawab sekenanya.
“ ahahaha ngapain ? “, Khalid yang selalu santai dan humoris mencoba (lagi-lagi) untuk menghindari momen-momen penuh komitmen dan tanda Tanya ini.
“ kamu dari dulu memang gak berubah Lid! Serius dikit coba! “, wanita itu menjadi kesal karena dari dulu tak sanggup mengkondisikan perilaku sosok di depannya sesuai harapannya.
“ Aku ini dari dulu selalu berubah, hanya pikiranmu saja yang tidak dapat menangkap ucapanku dengan serius “, Khalid merasa tidak terima juga kalau dia dibilang tidak serius. Bagi sosok urakan seperti Khalid keseriusan itu bukan ditunjukkan melalui penampilan dan gaya bicara tetapi lebih dari itu, serius adalah sebuah sikap dan ketegasan prinsip.
Bagi sosok seperti Nina, kejelasan hubungan adalah gengsi. Penilaian orang lain, orang tua adalah menjadi indikator baginya dalam menjalani hidup. Berbeda dengan Khalid yang dari dulu selalu merasa dirinya independen bebas dari indikator penilaian orang lain terhadap dirinya. Mereka berdua telah berteman selama 5 tahun. Tetapi Nina teap tidak menyadari betul Khalid tidak bisa diintervensi pemikirannya dengan cara apapun. Malam itu pertama kalinya dalam hubungan mereka sebagai teman baik Nina berteriak nyaring di depan Khalid “ MENYEBALKAN! *sambil memukul-mukul meja bulat bertaplak putih kembang-kembang itu.
Seorang pelayan restoran berambut belah tengah datang dengan wajah bingung, “ mohon maaf mbak, kalau mau manggil pelayan kami berharap bisa lebih sopan “, ucap pelayan itu dengan wajah santun dan ragu.
“ SIAPA YANG MANGGIL KAMU! “, Teriak Nina dengan keras.
Semua orang yang duduk di restoran lambat saji itu melihat ke arah mereka, pandangan mereka yang hiruk pikuk tentu membuat dua sejoli ini tidak nyaman. Apalagi Khalid paling tidak suka diperhatikan dalam kekacauan.
“ Terus mbak ngapain tadi mukul-mukul meja ? “, seloroh pelayan itu dengan wajah ragu sedikit kesal.
“ Mau tau aja urusan orang! Dasar pelayan tukang gossip kebanyakan nonton infotainment “, teriak Nina yang mulai bicara tak masuk akal, sambil berdiri dan mengangkat tas warna jingga yang sangat disayanginya.
“ Ssssst, sudah mas kembali aja ke dapur “ ucap Khalid dengan wajah yang kharismatik. Menenangkan suasana. Nina yang sudah berdiri dan kesal dengan keadaan bergegas untuk meninggalkan Khalid sendiri di meja itu. Khalid tidak mengejarnya, alasannya dua. Pertama Khalid tidak suka mengikuti jalan cerita sinetron dan yang kedua rokoknya baru terbakar setengah batang. Ia paling anti untuk berdiri sebelum rokoknya habis.
Khalid harusnya tahu dari dulu Nina memang suka padanya, tetapi Nina selalu gagal untuk menjadikan Khalid sebagai Pacarnya. Bagi Khalid, Nina sosok yang menyenangkan. Ia pun ingin sebenarnya menjadi pacar seorang Nina, mahasiswi kedokteran berpenampilan muslimah modis ala dian pelangi. Tingginya standar model catwalk dengan mata yang indah, bibirnya tipis merah muda yang membuat wajahnya ayu sekalipun tanpa make up. Siapapun lelaki akan menganugerahkan award kepada Khalid sebagai Mahasiswa bodoh tahun ini apabila ia tidak menjadikan Nina sebagai pacarnya. Karena setiap hari Nina selalu kebanjiran teman baru di Facebook, Follower yang mencapai angka 1 juta di twitter dan para mahasiswa yang mencari PIN BBnya dengan cara bertanya kepada teman baik Nina bernama Raudah.
Tetapi Khalid memiliki prinsip.
dan Khalid paling anti mengecewakan wanita, ia sadar betul ia lahir dari rahim seorang wanita.
Ia tidak ingin Nina menjadi orang yang tergila-gila padanya.
Ia ingin Nina bisa lebih membuka mata melihat sekelilingnya, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa dan tidak layak untuk wanita sebaik Nina.
Nyatanya Nina memang seperti itu, dia tidak kuasa menahan keinginannya untuk bisa lebih dekat dengan Khalid. Nina ingin segera mengenalkan Khalid kepada kedua orang tuanya. Nina ingin Khalid memperhatikannya lebih.
Kharisma Khalid yang selalu di pernah menjadi ketua di organisasi kampus sosial politik, pribadi yang humoris dan populer karena keberaniannya untuk terus maju dalam pentas politik kampus, telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa lainnya.
Nina memiliki analisa dan penangkapan informasi yang tajam, status Khalid di Facebook tak pernah lepas untuk di sukai, kicauan Khalid di twitter selalu di retweet seketika muncul. Apalagi membaca catatan Khalid di Facebook, setiap hari Nina selalu mengulang untuk membacanya, menikmati setiap kata-kata yang dituliskan Khalid.
***
Semenjak kejadian yang tidak direncanakan malam itu, Nina tidak pernah mau bertemu Khalid lagi. Ia telah memendam rasa cintanya dalam tumpukan bunga-bunga layu yang pernah dikirim Khalid. Baginya Khalid hanyalah seorang pecundang yang tidak mau berkomitmen, tidak berani bertemu kedua orang tuanya, tidak berani untuk berjanji, berjanji saja tidak berani apalagi memberi bukti.
Khalid yang dari dulu tidak terlalu komunikatif, memang kesusahan untuk membuat Nina mengerti. Baginya prinsip adalah hal yang tak perlu diumbar lewat mulut, justru harus dibuktikan dengan sikap dan tindakan. Baginya harga diri seorang individu dapat dihargai bila pikiran, ucapan dan tindakannya seiring sejalan seperti roda sepeda. Sekedar komitmen simbolis ala cerita remaja adalah hal yang tidak perlu dilakukan pikirnya.
**
Kampus Universitas Mulawarman siang itu seolah kembali pada zaman dahulu kala, seorang lelaki yang mengenakan selawar levis biru tua memberikan surat yang ditulisnya dengan tangan sendiri kepada Raudah. Raudah yang berwajah imut selalu tampak ceria kemudian menerima surat itu. Khalid berpesan kepada Raudah untuk memberikan surat itu kepada Nina Harun dan jangan pernah membukanya sebelum tanggal 28 september 2012 pukul enam pagi.
*
28 september 2012, pukul enam pagi. Nina yang semenjak shalat shubuh tadi tidak kembali tidur akhirnya membuka surat dari Khalid.
Untuk Nina Harun
“ Adinda Nina, maafkan Khalid yang tidak pernah berkomitmen apapun kepadamu.
Itu semua bukan tanpa alasan.
Terlalu banyak alasan yang kuungkapkan hanya akan jadi apologiku terhadapmu nantinya.
Hari ini aku berangkat ke Amerika Serikat untuk kuliah sampai selesai doktor disana.
Butuh waktu 5 tahun untukku berteman akrab denganmu sampai kau akhiri semuanya di restoran itu.
Butuh waktu 5 tahun pula untukku mengejar citaku.
Seandainya aku pernah berkomitmen padamu di hari-hari yang lalu, 5 tahunku di AS pasti akan menyakitimu.
Pada prinsipnya aku tak mau engkau terluka.
Jika dalam 5 tahun ke depan kau menemukan seorang lain yang mampu menerangi ruang kosong dihatimu, aku tak keberatan.
Tetapi.
Jika kau tak keberatan, saat aku di AS hitunglah dies natalis universitas mulawarman setiap tanggal 27 september itu. Lewatilah 5 kali dies natalis itu, maka itu setara dengan 5 tahun yang akan datang saat aku kembali.
Dan tepat pukul enam pagi, 5 tahun lagi. Aku akan datang menemui orang tuamu untuk melamarmu.
Jika Nina tidak keberatan itulah janjiku sebagai permohonan maaf tidak pernah peduli dengan perasaanmu. Memang baru sekali ini aku berjanji padamu. Tetapi akan kubuktikan dengan yakin usaha sampai. “
Billahitaufiq wal hidayah
Wassalam
Khalid Mahmud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar