Kamis, 05 Juli 2012

Pra Sarjana dan Pasca

Bagi sebagian orang yang menyukai sesuatu yang instan barangkali gelar sarjana adalah hal yang terjangkau untuk dibeli, tapi bagi orang-orang yang menikmati perjuangan mencapai gelar sarjana adalah sebuah pencapaian Ikhtiar dan keniscayaan Takdir. Tantangan menggapai gelar sarjana itu ada dua, pertama tantangan teknis seperti susahnya mencari referensi, sulitnya bertemu untuk konsultasi dengan dosen dan revisi yang datang bertubi-tubi. Kemudian tantangan yang kedua adalah tantangan psikologis seperti rasa traumatik yang berlebihan karena pernah dimarahi dosen akibat kesalahan yang tidak juga fatal, rasa malas berkepanjangan dan penyakit suka menunda urusan di hari selain senin ( karena beranggapan semua masalah akan beres bila kita bisa bangun hari senin pagi ) Hari senin dianggap hari paling punya peluang untuk ketemu dosen dan staff akademik untuk berurusan padahal tidak bisa bangun juga kadang, akhirnya mengulang menunggu hari senin lagi senin lagi.

Dalam pada itu Mahasiswa tingkat akhir saya klasifikasikan menjadi dua, yaitu tipikal "pemikir keras" dan "pekerja keras".
Pemikir keras adalah orang yang belum juga mengajukan judul tapi dia sudah menentukan hasil lewat pikirannya, hal ini membuat dia tidak pernah percaya pada kekuatan nasib. Sesudah judul diterima, begitu ingin maju konsultasi dia merevisi skripsinya sendiri berkali-kali sebelum direvisi oleh dosen. Padahal secara gamblang kita semua tau, tugas dosen adalah merevisi. Para dosen digaji untuk merevisi, sudah barang tentu kita seharusnya tahu dan paham kita hanya cukup mengerjakan. Biar revisi dipikirkan oleh dosen.
Yang kedua adalah tipe "pekerja keras", inilah tipikal yang membuat orang lulus cepat bahkan cum-laude. Panas, hujan, siang dan malam dia terus mengerjakan skripsinya tanpa pernah merevisinya sendiri. Kadang saking semangatnya latar belakang penelitian yang seharusnya ditaruh di BAB I justru dia letakkan di BAB IV, hasilnya adalah dimarahi bahkan ditertawai dosen habis-habisan. Tetapi tak kenal menyerah, amarah dosen justru dijadikannya pecutan keras di jiwanya hingga ia mampu menyelesaikan skripsi sesuai dengan harapannya.

***

Menuju seminar proposal saya punya pengalaman unik karena saya salah mencatat nomor telepon dosen pembimbing, begitu saya sampai ternyata saya salah alamat. Alhasil saya kena marah oleh dosen salah alamat itu. Karena mental saya baja, saya meminta maaf baik-baik dan berdiskusi dengan dosen itu. Untungnya dosen yang saya salah datangin rumahnya itu adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi yang juga saya ikuti selama kuliah sebagai tempat pengabdian terhadap Ummat Bangsa.

Seminar demi seminar saya lewati dengan mental sekeras baja, bangun pagi dan membeli makanan terenak di kota samarinda, menyiapkan pakaian terbaik dan menyebar undangan untuk seminar. Kesana Sini berkeliling mengurus berkas agar semua terlengkapi. Belum lagi teriakan keras dosen di ruang seminar, revisi yang kadang tidak saya pahami apa maksudnya, dan galau sana sini menunggu dosen yang kadang suka membuat hati resah karena tidak menjawab telpon. Semua hal rumit dan menggalaukan itu tidaklah membuat saya gentar untuk mencapai gelar sarjana.

***
Saat sebelum yudisium akan dilaksanakan PD 3 menelepon saya dan mengatakan saya harus jadi perwakilan yudisiawan, menyampaikan kesan dan pesan. Biasanya yang mewakili yudisiawan adalah mereka yang cum-laude dan memiliki IPK tertinggi. Tetapi Pak Heriono mengatakan bahwa saya lah orang yang paling tepat untuk berada di podium itu. Entah alasannya apa, saya tidak ingin berekspektasi berlebihan karena hanya akan menyebabkan saya terkena penyakit Gigantisme aktivis.

Yang saya lakukan adalah memberikan sambutan kontekstual, berterima kasih kepada dosen atas bimbingan dan ujiannya, orang tua dari kampung halaman yang telah berdo'a, mendorong, mengirimkan dana agar bisa lulus dan menebar harapan kepada kawan-kawan yudisiawan agar memiliki cita-cita besar menjadi kepala daerah di daerah asalnya masing-masing serta sebuah pantun ceria yang disambut meriah oleh hadirin.

*

Akhirnya besok sudah waktunya untuk wisuda, dengan segala kerendahan hati saya bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah membuat skenario indah bagi saya dalam usia muda ini, saya mencapai gelar sarjana sosial bidang ilmu administrasi negara dalam usia 21 tahun.

Pada umur 23 nanti saya ingin mencapai gelar magister administrasi publik di Universitas Indonesia dan menggapai gelar Doktor Administrasi Publik di Harvard Kennedy School Amerika Serikat di usia 26.

Dari TK sampai lulus SMA saya lalui di ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, masa aktivis Mahasiswa S-1 saya lewati di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, S-2 ingin saya jalani di Ibukota NKRI, dan gelar Doktor akan saya capai di Ibukota dunia internasional tempat semua bangsa berkumpul dan berkompetisi Amerika Serikat.

Semua pilihan itu saya ambil demi keluar dari zona nyaman, demi kebijaksanaan hidup, demi Iman dan Taqwa yang lebih kuat di hari-hari akan datang dan demi masa lalu yang terlewati dan cita-cita yang tergantung di langit tinggi.

Jalan-jalan ke pasar segiri, jangan lupa membeli ikan
Perkuliahan telah kita akhiri, semoga sukses di masa depan!

Senin, 02 Juli 2012

Melempar batu ke Mahakam

selasa malam jam 23.00 
keadaan sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di jalanan. 
Aku, Edo dan Pandi duduk di pinggir tepian sungai mahakam Tenggarong. Masyarakat Tenggarong biasa menyebut tempat ini dengan sebutan "Ancol". Tepian atau Pinggiran sungai yg biasa di sebut "Ancol" ini terletak di depan Planetarium Kota Raja, berbeda dari tepian yang ada di daerah timbau dst. karena tepian ini dihiasi dengan taman dan tempat duduk yang Indah, suasananya terasa hening udaranya pun bersih dari polusi. Angin berhembus sepoi-sepoi malam itu, aku menggunakan jaket tetapi kedua temanku itu tidak. mereka tidak merasa kedinginan, karena lampu jalan yang begitu terang cukup menghangatkan kondisi Ancol malam itu. aku memang seringkali duduk merenung di ancol, tetapi ini kali pertama ku ajak kedua sahabatku untuk bertukar pikiran tentang masalah-masalah kehidupan. Pandi memulainya dengan bercerita tentang hubungan pertemanannya yang hampir retak karena seorang wanita, kemudian Edo membuka topik berikutnya mengenai gaya hidup anak muda tenggarong yang penuh dengan gengsi dan kesombongan, aku mendengar cerita mereka sambil meminum susu kemasan. Sungguh banyak sekali hal yang kami bicarakan malam itu, sampai2 saya lupa apa saja yang telah dibicarakan. tetapi satu yang saya ingat adalah akhirnya kami mendapat kesimpulan bahwa Masalah adalah Inti dari kehidupan, ketika tidak ada masalah maka yang ada adalah kehidupan datar/monoton. Masalah membuat hidup kita menjadi dinamis dan diri kita menjadi semakin dewasa karena kita harus memilih langkah terbaik dalam menyelesaikannya. 
... 
susu yang ku minum telah habis, ada mitos di kukar yang mengatakan bahwa kalau kita membuang sesuatu ke mahakam dan menaruh harapan dan cita-cita maka akan terkabul di kemudian hari. aku membuang kaleng susu itu ke sungai mahakam dan berteriak " Aku Ingin Menjadi Bupati kukar!!! " teriakanku memecah keheningan malam. selanjutnya Edo membuang kulit kelengkeng dan Berteriak " Aku Ingin jadi pengusaha sukses!!!" teriakan edo mengejutkanku, karena aku tidak tahu kalau dia juga mengikuti apa yang ku lakukan. cita-cita yang kami impikan sungguh sangat tinggi dan gagah. tiba-tiba tanpa disangka Pandi mengambil batu, melemparkannya ke sungai Mahakam dan berteriak " aku ingin diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki!!! " , aku tertegun melihatnya berteriak seperti itu, aku dan edo serentak bertanya " kenapa kau hanya mau sehat dan rezeki pan??" bukankah kita harus menarget cita-cita dan harapan setinggi-tingginya... Pandi kemudian menjawab " kita bisa menjadi apa saja ketika kita sehat jasmani dan rohani, lalu kita bisa mendapatkan apa saja apabila Tuhan memberikan kemudahan rezeki...tanpa sehat dan rezeki kita tidak akan mampu meraih cita-cita kita..." aku dan edo terdiam, kami merasa apa yang dikatakannya benar dan selama ini kami hanya bercita-cita tentang pekerjaan atau profesi, tidak pernah terlintas dalam benak kami tentang Kesehatan diri dan Kemudahan rezeki... 

Seandainya aku tidak mengajak Edo dan Pandi ke Ancol malam itu mungkin aku tidak pernah sadar bahwa ada yang lebih penting daripada Cita-cita Pekerjaan semata... 
aku sadar bahwa selama ini pemikiran kita telah diracuni oleh ketakutan terhadap masa depan yang suram, masa depan yang sangat kompetitif yang akan menyisihkan orang-orang tak berguna... 
Masa depan yang mengharuskan kita memiliki cita-cita pekerjaan bahkan dari bangku TK / playgroup.. 
terima kasih kepada Pandi dan Edo, karena tanpa "bekesahan" dengan kita, aku tidak mungkin sadar akan pentingnya Kesehatan dan Kemudahan Rezeki. semoga di kemudian hari kita bisa selalu diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki serta mampu meraih cita-cita pekerjaan yang kita inginkan. 


Kamar Tenggarong, 23 september 2009

Kekalahan bukan akhir

" Di saat kita merasa diri kita kalah
lihatlah ke belakang kita, terkapar orang lain yang lebih kalah "
- Azwar


Sebuah kisah tentang Dunia Politik Mahasiswa
Semoga bisa Menginspirasi teman2 Mahasiswa semua...



Malam hari, aku keluar dari kampus setelah penghitungan suara pemilu selesai.
Aku melewati taman-taman kecil yang menghiasi kampusku, pohon2 besar menemani langkah bayanganku. sesekali kendaraan bermotor lewat dan cahayanya membasahi wajahku.
aku ingin sekali langkahku ini membawaku sampai di rumah, karena aku mencium bau tidak enak dari Kertas suara yang dibakar setelah di robek dan dihitung. suasananya begitu panas dan aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan.

Adalah kebodohanku ketika melakukan sesuatu tanpa ingin repot, aku ingin segala sesuatu dikerjakan dengan mudah tanpa harus kerja keras. Seharusnya kemarin aku mampu terpilih sebagai Presiden BEM Universitas di kampusku. kalau saja aku mau melakukan sesuatu yg telah ku rancang sebelumnya, tapi nyatanya aku sendirilah yang tidak mau melakukan semua itu karena bagiku merepotkan.

Memang itulah karakter hampir kebanyakan Mahasiswa zaman skrg pikirku, tidak mau repot, cuek dan cenderung suka bersenang-senang. Aku duduk dan menghisap rokok di pinggir jalan depan kampusku, aku berpikir tentang kegagalanku merebut kursi pimpinan mahasiswa tertinggi di kampusku.
" Sudah seperti ini, ke mana org2 yg kemarin mendukungku?" teman-temanku yang semula menjadi tim suksesku saat pencalonan, skrg menjadi penjilat di kubu lawan. mereka melakukan itu karena mereka takut apabila tidak memiliki jabatan maka mereka tidak akan dipandang sebagai Aktivis kampus.
Cewe-cewe kampus yang dulu menjadi fansku pun mulai tidak menyenangiku, karena mereka menganggap aku orang yang kalah dan tidak punya banyak pendukung.
Aku Marah, " aku ini hebat, bayangkan aku mampu mengumpulkan 113 suara mahasiswa di seluruh fakultas sedangkan lawanku hanya mampu mengumpulkan 13.000 suara di seluruh fakultas"
...
Sepertinya memang aku adalah kalah dan kalah adalah diriku, ku ingat-ingat kembali apa yang telah ku lakukan. kelalaianku adalah tidak mau terjun langsung ke mahasiswa untuk bersosialisasi. ku kira dengan wajah yang tampan, otak yang cerdas, retorika yang bagus, gaya yang stylish, pemikiran yang kritis, punya banyak teman maka aku akan terpilih sebagai Presiden BEM dengan mudahnya. ternyata iklim Mahasiswa hari ini adalah manifestasi dari iklim Masyarakat luas. Mahasiwa hari ini mayoritas apatis dengan keadaan kampus maupun Negara. Sebagian besar dari mereka memanfaatkan waktu untuk Datang, Duduk, Diam dan pulang Tidur.
Tapi sudahlah, bukan itu yg jadi masalah hari ini.

Aku adalah orang yang kalah, nasibku sial. aku orang yang bodoh dan lalai.
Mungkin kegagalanku ini juga karena aku jarang beribadah?. atau mungkin karena aku tidak minta di doakan dengan orang tuaku? atau jangan-jangan karena aku tidak suka menonton Film India---- Loh apa hubungannya?? aku mulai jadi gila karena kekalahanku
Karena seharusnya sekarang aku sudah menjadi Presiden BEM yang dengan begitu gagahnya berjalan di tengah2 mahasiswa/i kampusku. Mahasiswa/i akan menegurku dan bangga saat aku membalas teguran mereka.

Aku tenggelamm dalam kepesimisanku,
aku resah dengan kemampuanku
Aku tidak mampu untuk menang di dalam pertarungan
aku takut untuk mencoba lagi
Aku pasti Kalah seterusnya dalam kehidupan ini...


malam hari Dalam perjalanan pulang ke jln. Pramuka, aku mengeluh dan resah dengan nasibku yang jelek saat merebut kursi Presiden BEM. Aku menggerutu sendiri, marah dengan keadaan yang tidak enak.
aku menyusuri pinggiran lapangan bola pramuka, di depanku tempat sampah yang baunya amis.
aku terkejut karena aku tak menyangka, ada seorang lelaki tua yang terbaring di dalam sana.
aku mengira ia sudah mati " Pak, bangun" tegurku
ia terbangun seraya berucap alhamdulillah...
"terima kasih nak telah membangunkanku, aku tadi sedang bekerja memilah sampah-sampah ini... agar sampah kimia bisa di daur ulangg dan sampah yang basah bisa kembali menyatu dengan tanah.
tetapi diluar dugaaan aku tertidur karena aku lelah."
aku bingung melihat manusia satu ini, bajunya lusuh, Kakinya berkoreng dan wajahnya pun sangar.
Aku kemudian bertanya " Mengapa engkau tadi mengucapkan hamdalah/syukur saat kau ku bangunkan Pak tua?".
wajahnya menunduk dan tersenyum kecil "untuk apa aku mengeluh lagi dengan keadaanku ini?" ia kemudian melanjutkan bicaranya "aku sudah menemukan nikmat kehidupan ini anak muda. aku selalu bersyukur ketika aku habis kencing ataupun habis berak". 

Aku bingung dengan orang ini, bahasanya tidak menggurui tetapi begitu dalam masuk memenuhi relung jiwaku. Membuatku ingin bertanya lagi " kenapa kau bersyukur ketika kau bisa kencing dan berak?"

Ia menjawab dengan wajah sangarnya yang terkesan dingin itu " Saat aku bisa kencing ataupun berak sesungguhnya badanku adalah tekhnologi terhebat yang pernah ada di muka bumi ini ". " Tubuh kita memprosesnya dengan berbagai kerja di dalamnya, Bagiku itu sungguh hebat dan aku berterima kasih pada Tuhan akan hal itu" jelasnya.

Aku terperangah mendengarnya, tidak ku sangka orang yang keliatannya tidak berpendidikan ini, mampu menjelaskan sesuatu yang sederhana tetapi sangat berarti bagi kehidupan. 
tetapi tidak cukup, bagiku orang ini adalah orang yang tidak mengerti apa2 tentang Politik.
dia hanya berbicara sesuai pengalamannya, tetapi dia tidak mengerti teori pikirku.

aku kemudian dengan lantang bertanya kembali, berharap ia tidak mampu menjawab pertanyaan mahasiswa yang sulit-sulit " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" , dia pasti tidak mengerti dengan pertanyaanku dan dia juga tak akan mampu menjelaskan apapun.

Bapak tua itu diam dan mengambil sampah-sampah dari plastik dan kain. dia membentuknya menjadi seperti bola sepak, tidak bulat sempurna tetapi mampu menggelinding.
Ia kemudian mengajakku bermain bola di lapangan bola pramuka, lapangan hijau yang penuh dengan rumpit liar yang panjang dan tak terawat. aku heran ia belum juga menjawab pertanyaanku. " Ayo tendang bolanya, kita main pinalty kick" ia memutuskan untuk menjadi penjaga gawang dan aku menjadi penendang". ia memberi arahan kepadaku "kau harus menendang dengan keras dan penuh keyakinan". aku bingung, apa yang mau dia lakukan dengan bermain bola berdua di malam hari ini seperti ini. aku pun ikut saja karena aku masih penasaran dengan jawabannya.
aku menendang dengan keras, tak ku sangka bapak ini ternyata lincah sekali menjadi penjaga gawang.
" AYo semangat anak muda, masa' tdk bisa GOL sih??"
Aku menendang terus dengan wajah tersenyum ceria, akhirnya aku mampu menendang dengan baik dan menciptakan 1 GOL. setelah belasan kali menendang akhirnya tercipta sebuah gol.
Aku duduk kelelahan, bapak tua itu berdiri di depanku dengan gayanya yang dingin.
" Kau tidaklah kalah anak muda dalam meraih mimpi, hanya saja kau tak mau mencoba kembali apa yang pernah kau lakukan. Usaha itu adalah Ikhtiar, sedangkan nasib itu adalah Takdir. Manusia berusaha sebaik mungkin, Tuhan yang akan menentukan hasilnya " dia mulai memberikanku pencerahan.
" Saat kau menendang Bola tadi anggap saja kau sedang berusaha, dan saat kau mampu mencetak Gol itu adalah cerminan saat kau sukses. artinya jelas bahwa kau sebenarnya akan sukses meraih mimpi ketika kau berusaha dengan keras dan mencoba terus ".
aku mulai terpesona dengan apa yang dikatakannya, tetapi aku mengungkit lagi pertanyaanku yang masih belum di jawabnya tadi. aku mengulang pertanyaanku " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" .

Ia dengan bijak menyatakan " kau harus tetap bersyukur anak muda!! "
Aku butuh alasan " mengapa aku mesti beryukur, padahal Hidup ini tak adil" sanggahku

Bapak tua itu kini menyuruhku untuk meminum air yang dibawanya, " Minumlah ini nak" sembari ia menyerahkan botol air itu kepadaku.
" minumlah air itu, tetapi jangan kau telan dahulu sebelum aku selesai menjawab pertanyaanmu" 
Bapak tua itu bersuara dengan keras " apapun yang kau alami kau harus bersyukur, karena rasa bahagia maupun kecewa itu adalah nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita nak " ia melanjutkan
" Hal yang patut kau syukuri dari kekalahanmu adalah kau menjadi sempat untuk merenung dan berdiskusi dengan orang tak berpendidikan sepertiku, coba kau bayangkan seandainya kau terpilih?"
...
aku berpikir betul juga apa yang dikatakan bapak tua ini, air masih dimulutku dan belum ku telan.

" Seharusnya kau bersyukur, kau masih mampu kuliah dan beraktivitas". 
wajahku mengeluarkan ekspresi bertanya
" Aku seorang Ayah, anakku seorang lelaki yang cacat fisiknya. ia Buta dan tidak bisa melihat apa-apa. Aku tetap bersyukur karena aku yakin Tuhan bukan memberikan Takdir yang buruk kepadaku tetapi Tuhan telah menentukan skenario terbaik untuk kehidupanku. Anakku itu tidak dapat melihat, tetapi ia mampu bermain musik dengan baik. banyak orang yang kagum kepadanya dan mengundang ia untuk mengisi acara musik dimana-mana" bapak tua itu menjelaskan dan betapa bangganya ia dengan prestasi yang dimiliki anaknya.

Aku semakin tersadar bahwa aku adalah manusia yang beruntung tetapi sering mengeluh dengan keberuntunganku, aku tidak memiliki kecacatan, orang tuaku mampu, aku bisa kuliah, aku bisa semuanya. aku hanya gagal dalam persaingan politik.
Aku menelan air yang dari tadi ku tahan dimulut itu
" Aku minta maaf karena aku sudah pesimis pak " ucapku kepada bapak tua itu..
Ia menyergah ucapanku " Kau tidak perlu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada dirimu sendiri. karena selama ini kau telah menginjak-injak harga dirimu sendiri hanya karena satu hal". bapak tua itu mengutarakan dengan bijak pandangannya
" Jika hari ini kau gagal meraih sesuatu yang ku tak tau apa itu, besok kau harus kembali mencobanya dan meraihnya" .

Aku pun meminta maaf kepada diriku, dan diriku memaafkannya
aku berjanji dalam diriku sendiri " aku akan mencobanya lagi tahun depan, apapun hasilnya aku akan tetap bersyukur dan ikhlas "

Aku kemudian berpamitan dengan bapak tua itu, aku mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup yg diberikannya..
Aku mulai berjalan meninggalkannya, Bapak itu mulai mengerjakan kembali pekerjaannya memilah-milah sampah. aku tenang dalam perjalanan pulang itu, tak ada rasa gundah sedikitpun dalam diriku, tak muncul sekalipun keluh kesah dari mulutku, aku sadar betapa pentingnya rasa syukur dalam menghadapi kehidupan ini. terima kasih bapak tua, telah mengajarkanku cara berterima kasih kepada Tuhan.

Pagi Pukul Enam

Sebuah prinsip adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi, karena itu telah menjadi nurani. Melanggarnya sama dengan membohongi diri sendiri. Membohongi orang lain saja tak enak rasanya pikirku, apalagi harus membohongi diri sendiri.
Kemeja hitam lengan panjang yang digulung tangannya dua kali, celana levis biru tua dan sepatu cokelat dengan hiasan logam kepala kelinci telah menjadi kesehariannya. Itulah gambaran awal ketika orang lain bertemu dengannya kesan misterius, bebas dan suka membuat perasaan terbolak-balik. Seakan gambaran itulah yang menjadi konklusi bagi dirinya. Tentulah tak baik untuk membela diri dan mengatakan bukan itu yang sebenarnya, tapi biarlah waktu barangkali mampu menjawabnya dengan baik.

“ kejelasan, aku butuh kejelasan lid ? “ , ungkap Nina padanya.
Khalid dari tadi diam dan tak menjawab, Hot chocolate yang ada di hadapannya sudah tidak sepanas namanya. Abu rokok putih mengotori lantai warung itu, asbak yang disiapkan tidak membuatnya menjadi tertib. Jiwanya ingin bebas, pikirannya pun ingin merdeka. Lampu café itu berwarna kuning sendu, keadaan yang diharapkan Nina adalah keadaan romantik. Tetapi dari tadi sosok yang duduk di depannya hanya sesekali menatapnya. Ia lebih sering memegang pemantik api untuk membakar tembakau racikan Phillip Morris itu. Ya sosok itu hanya sibuk dengan pemantik dan tidak romantik.
Nina dari tadi terus serius dan tetap menutupi rasa muaknya dengan asap tembakau itu, Nina memang benci rokok setengah mati, siapapun yang merokok mulai dari teman sekelasnya sampai tukang parkir akan merasakan tatapan sinisnya bila menghembuskan asap rokok di depannya. Tetapi kebencian itu hilang ketika dia berhadapan dengan Khalid, ia tak mampu untuk mengeluarkan tatapan sinisnya. seketika rasa cintanya telah menghapus kebenciannya.  

“ Apa lagi yang mau kamu minta kejelasannya Nin ? “, Khalid bertanya balik dengan ekspresi datar dan sikap yang benar-benar sangat paling luar biasa cuek.
“ Tentang hubungan kita Lid “, Nina mulai menunjukkan keseriusan tatapannya.
“ kita kan berteman baik nin “, lelaki itu menjawab dengan santai bin keren.
“ aku ingin kamu lebih “, wajah yang serius itu mulai berharap besar.
“ Terus ? “, Khalid meminta petunjuk teknis apa yang perlu dia lakukan.
“ Ya kamu nyatakan cinta dong sama aku “, selayaknya perempuan yang mengutamakan perasaan. Nina yang bingung dengan pertanyaan rasional itu pun menjawab sekenanya.
“ ahahaha ngapain ? “, Khalid yang selalu santai dan humoris mencoba (lagi-lagi) untuk menghindari momen-momen penuh komitmen dan tanda Tanya ini.
“ kamu dari dulu memang gak berubah Lid! Serius dikit coba! “, wanita itu menjadi kesal karena dari dulu tak sanggup mengkondisikan perilaku sosok di depannya sesuai harapannya.
“ Aku ini dari dulu selalu berubah, hanya pikiranmu saja yang tidak dapat menangkap ucapanku dengan serius “, Khalid merasa tidak terima juga kalau dia dibilang tidak serius. Bagi sosok urakan seperti Khalid keseriusan itu bukan ditunjukkan melalui penampilan dan gaya bicara tetapi lebih dari itu, serius adalah sebuah sikap dan ketegasan prinsip.
Bagi sosok seperti Nina, kejelasan hubungan adalah gengsi. Penilaian orang lain, orang tua adalah menjadi indikator baginya dalam menjalani hidup. Berbeda dengan Khalid yang dari dulu selalu merasa dirinya independen bebas dari indikator penilaian orang lain terhadap dirinya. Mereka berdua telah berteman selama 5 tahun. Tetapi Nina teap tidak menyadari betul Khalid tidak bisa diintervensi pemikirannya dengan cara apapun. Malam itu pertama kalinya dalam hubungan mereka sebagai teman baik Nina berteriak nyaring di depan Khalid “ MENYEBALKAN! *sambil memukul-mukul meja bulat bertaplak putih kembang-kembang itu.
Seorang pelayan restoran berambut belah tengah datang dengan wajah bingung, “ mohon maaf mbak, kalau mau manggil pelayan kami berharap bisa lebih sopan “, ucap pelayan itu dengan wajah santun dan ragu.

“ SIAPA YANG MANGGIL KAMU! “, Teriak Nina dengan keras.

Semua orang yang duduk di restoran lambat saji itu melihat ke arah mereka, pandangan mereka yang hiruk pikuk tentu membuat dua sejoli ini tidak nyaman. Apalagi Khalid paling tidak suka diperhatikan dalam kekacauan.

“ Terus mbak ngapain tadi mukul-mukul meja ? “, seloroh pelayan itu dengan wajah ragu sedikit kesal.

“ Mau tau aja urusan orang! Dasar pelayan tukang gossip kebanyakan nonton infotainment “, teriak Nina yang mulai bicara tak masuk akal, sambil berdiri dan mengangkat tas warna jingga yang sangat disayanginya.

“ Ssssst, sudah mas kembali aja ke dapur “ ucap Khalid dengan wajah yang kharismatik. Menenangkan suasana. Nina yang sudah berdiri dan kesal dengan keadaan bergegas untuk meninggalkan Khalid sendiri di meja itu. Khalid tidak mengejarnya, alasannya dua. Pertama Khalid tidak suka mengikuti jalan cerita sinetron dan yang kedua rokoknya baru terbakar setengah batang. Ia paling anti untuk berdiri sebelum rokoknya habis.
Khalid harusnya tahu dari dulu Nina memang suka padanya, tetapi Nina selalu gagal untuk menjadikan Khalid sebagai Pacarnya. Bagi Khalid, Nina sosok yang menyenangkan. Ia pun ingin sebenarnya menjadi pacar seorang Nina, mahasiswi kedokteran berpenampilan muslimah modis ala dian pelangi. Tingginya standar model catwalk dengan mata yang indah, bibirnya tipis merah muda yang membuat wajahnya ayu sekalipun tanpa make up. Siapapun lelaki akan menganugerahkan award kepada Khalid sebagai Mahasiswa bodoh tahun ini apabila ia tidak menjadikan Nina sebagai pacarnya. Karena setiap hari Nina selalu kebanjiran teman baru di Facebook, Follower yang mencapai angka 1 juta di twitter dan para mahasiswa yang mencari PIN BBnya dengan cara bertanya kepada teman baik Nina bernama Raudah.

Tetapi Khalid memiliki prinsip.
dan Khalid paling anti mengecewakan wanita, ia sadar betul ia lahir dari rahim seorang wanita.
Ia tidak ingin Nina menjadi orang yang tergila-gila padanya.
Ia ingin Nina bisa lebih membuka mata melihat sekelilingnya, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa dan tidak layak untuk wanita sebaik Nina.
Nyatanya Nina memang seperti itu, dia tidak kuasa menahan keinginannya untuk bisa lebih dekat dengan Khalid. Nina ingin segera mengenalkan Khalid kepada kedua orang tuanya. Nina ingin Khalid memperhatikannya lebih.
Kharisma Khalid yang selalu di pernah menjadi ketua di organisasi kampus sosial politik, pribadi yang humoris dan populer karena keberaniannya untuk terus maju dalam pentas politik kampus, telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa lainnya.
Nina memiliki analisa dan penangkapan informasi yang tajam, status Khalid di Facebook tak pernah lepas untuk di sukai, kicauan Khalid di twitter selalu di retweet seketika muncul. Apalagi membaca catatan Khalid di Facebook, setiap hari Nina selalu mengulang untuk membacanya, menikmati setiap kata-kata yang dituliskan Khalid.

***
Semenjak kejadian yang tidak direncanakan malam itu, Nina tidak pernah mau bertemu Khalid lagi. Ia telah memendam rasa cintanya dalam tumpukan bunga-bunga layu yang pernah dikirim Khalid. Baginya Khalid hanyalah seorang pecundang yang tidak mau berkomitmen, tidak berani bertemu kedua orang tuanya, tidak berani untuk berjanji, berjanji saja tidak berani apalagi memberi bukti.

Khalid yang dari dulu tidak terlalu komunikatif, memang kesusahan untuk membuat Nina mengerti. Baginya prinsip adalah hal yang tak perlu diumbar lewat mulut, justru harus dibuktikan dengan sikap dan tindakan. Baginya harga diri seorang individu dapat dihargai bila pikiran, ucapan dan tindakannya seiring sejalan seperti roda sepeda. Sekedar komitmen simbolis ala cerita remaja adalah hal yang tidak perlu dilakukan pikirnya.


**
Kampus Universitas Mulawarman siang itu seolah kembali pada zaman dahulu kala, seorang lelaki yang mengenakan selawar levis biru tua memberikan surat yang ditulisnya dengan tangan sendiri kepada Raudah. Raudah yang berwajah imut selalu tampak ceria kemudian menerima surat itu. Khalid berpesan kepada Raudah untuk memberikan surat itu kepada Nina Harun dan jangan pernah membukanya sebelum tanggal 28 september 2012 pukul enam pagi.


 *
28 september 2012, pukul enam pagi. Nina yang semenjak shalat shubuh tadi tidak kembali tidur akhirnya membuka surat dari Khalid.

Untuk Nina Harun

“ Adinda Nina, maafkan Khalid yang tidak pernah berkomitmen apapun kepadamu.
Itu semua bukan tanpa alasan.
Terlalu banyak alasan yang kuungkapkan hanya akan jadi apologiku terhadapmu nantinya.
Hari ini aku berangkat ke Amerika Serikat untuk kuliah sampai selesai doktor disana.
Butuh waktu 5 tahun untukku berteman akrab denganmu sampai kau akhiri semuanya di restoran itu.
Butuh waktu 5 tahun pula untukku mengejar citaku.
Seandainya aku pernah berkomitmen padamu di hari-hari yang lalu, 5 tahunku di AS pasti akan menyakitimu.
Pada prinsipnya aku tak mau engkau terluka.
Jika dalam 5 tahun ke depan kau menemukan seorang lain yang mampu menerangi ruang kosong dihatimu, aku tak keberatan.
Tetapi.
Jika kau tak keberatan, saat aku di AS hitunglah dies natalis universitas mulawarman setiap tanggal 27 september itu. Lewatilah 5 kali dies natalis itu, maka itu setara dengan 5 tahun yang akan datang saat aku kembali.
Dan tepat pukul enam pagi, 5 tahun lagi. Aku akan datang menemui orang tuamu untuk melamarmu.
Jika Nina tidak keberatan itulah janjiku sebagai permohonan maaf tidak pernah peduli dengan perasaanmu. Memang baru sekali ini aku berjanji padamu. Tetapi akan kubuktikan dengan yakin usaha sampai. “

Billahitaufiq wal hidayah
Wassalam


Khalid Mahmud

Joni Bukan Pujangga

sesaat setelah hujan sore itu berlalu, aspal mulai mengering. rumput-rumput mulai tegak berdiri dengan tetesan kecil air yang ada bermukim sementara diantaranya. masih saja terjejal bayangan tentang wajahnya yang kemarin baru saja menolak untuk menerima kenyataan perasaan. 

" hei Jon, kenapa kau murung ?", tanya Rena kepada laki-laki yang berwajah datar itu. 
" oh tidak, aku sedang pura-pura murung saja..", jawabnya dengan santai. seolah ekspresi tadi memang sengaja dibuat-buat. 
Joni sadar beberapa hari ini dia memang tidak bisa membohongi perasaannya, tapi ya dia tetap mencoba untuk berbohong. dunia ini panggung sandiwara menurut judul lagu yang dibawakan Godbless, Joni tidak terlalu hapal liriknya. tapi Insya Allah di bulan puasa ini dia cukup cerdas untuk memahaminya. 

Rena adalah sahabat baik Joni, seorang wanita yang semampai, perilakunya sedikit tomboy tetapi dia termasuk pembela agama Allah karena selalu menggunakan jilbab ketika keluar rumah. Joni sendiri sering mendapat kultum karena jarang melaksanakan kewajiban agama. mereka sore itu bertemu di djoeragan kopi.  

seperti layaknya anak muda lain yang pernah terlibat dalam perkara cinta monyet, Joni kemarin mencoba pula untuk terlibat dengan menembak seorang wanita yang tinggal dekat rumahnya. sebenarnya Joni hanya ingin membuktikan analisanya terhadap perasaan wanita itu, karena setiap ingin berangkat shalat tarawih di bulan puasa ini. Joni seringkali ditegur dengan senyum yang sangat membuat penasaran. 

" Dina, aku ingin bertanya padamu apakah engkau menyukaiku ? aku ingin terus terang karena senyummu menyatakan bahwa kau suka", joni menyatakan perasaannya dengan gamblang dan tanpa beban. Dina, anak Imam masjid dekat rumahnya itu hanya tertunduk dan diam. 

cara yang ditempuh joni memang sangat tidak lazim karena menyatakan cinta tanpa menggunakan sedikitpun sentuhan pujangga. 
di era transformasi, dimana twitter telah menjadi media komunikasi dan google sudah menjadi sahabat akrab mahasiswa dalam mengerjakan tugas. masih ada lelaki seperti Joni yang berani dengan lugas menyatakan cinta berbeda cara dengan mayoritas anak muda yang sudah lihai karena membaca panduang menyatakan cinta di Internet. sungguh ironis. 

Seperti bunga yang layu terinjak, Dina hanya menanggapi ungkapan perasaan Joni dengan gelengan kepala ke kiri dan ke kanan. 

OFFSIDE! ya benar seperti striker di permainan sepak bola, Joni merasakan ternyata dia offside. dan ungkapannya hanya ditanggapi dengan gelengan kepala. 

itulah alasan mengapa hari ini dia murung duduk di djoerkop, bersama Rena sahabat baiknya. Joni tak tahu alasan mengapa dia ditolak, wajahnya padahal cukup tampan dengan rambut sisir ke belakang ala mafia italia, wajah yang masih satu ras dengan Osama bin Laden. baju flannel merah yang tidak ketinggalan dengan celana leecooper robek di bagian lutut. kemurungannya hanya menjadi sebuah pelajaran baginya tentang cinta masa kini yang mengharuskan seseorang mestilah keren dalam menyatakan cintanya. 

Rena sore itu pun menghiburnya dengan mengatakan " sudahlah Jon, tak usah kau pikirkan lagi". Joni hanya tertawa seraya menjawab " aku hanya mencoba untuk berekspresi seperti anak muda kebanyakan Ren". Rena pun bingung dan tak menyangka dengan jawaban Joni yang blak-blakan. 

Rena sebenarnya ingin meng-upgrade hubungannya dengan Joni sore itu menjadi pacar, tetapi sudahlah Joni bukan tipenya. karena Joni bukan pujangga yang pandai merangkai kata. 

Matahari yang mulai menghilang sore itu di arah barat, menyisakan lembayung indah di langit. Joni tanpa beban melewati setiap waktunya dengan lawakan-lawakan konyol, Rena terus menunggu kapankah waktu sahabatnya menjadi Pujangga dan mampu menyatakan perasaannya secara lebih baik. berhentilah berharap Ren, Joni masih seperti dulu dan betah seperti itu. 

So Far Away

   
di tengah liburan semester saat aku duduk di bangku kelas dua SMA.
Udara begitu cerah, suhunya 21 derajat selsius. angin bertiup-tiup sangat ramah. aku termasuk orang yang dianggap Gila oleh penduduk asli Brighton ini. karena aku selalu menggunakan sweater. 21 derajat selsius itu sama dengan tidur di sebuah kamar Indonesa yang menggunakan AC kawan!!!  Masyarakat yang hidup dan berkehidupan di kota ini menyebutnya sebagai Summer Time Geezer! mereka biasa mengenakan pakaian yang terbuka dan santai karena menurut mereka cuaca sangatlah panas. Aku seorang remaja berumur 16 tahun yang terdampar jauh di kota yang bahkan tidak pernah ku tahu namanya sebelumnya. Brighton Hove, sebuah kota di pesisir Inggris yang berseberangan langsung dengan Prancis. kota tersehat di dataran Inggris raya, dengan usia harapan hidup manusia mencapai angka 78 tahun.
Aku yang telah tinggal beberapa waktu, mulai membiasakan diri dengan gaya hidup masyarakat yang bagiku aneh ini. mereka berjalan kaki untuk berkeliling kota, naik bus kota untuk berpindah, sesekali motor besar lewat itupun dapat ku simpulkan bukan karena tidak bisa membeli mobil pribadi melainkan orang itu adalah penggila motor. Motor bebek seperti banyak di negeri asalku tak ku lihat satupun. wow.

Aku tinggal di rumah Mrs. Julie Pumfrey, seorang Ibu dengan 3 orang anak. termasuk orang tidak mampu di Inggris karena tidak punya mobil pribadi. rumahnya semacam flat dengan 2 lantai, dia punya 1 kulkas, 1 mesin cuci, 3 televisi, 1 PS2. standar hidupnya baik sekali, Mrs. Julie punya jadwal ketat untuk masalah makan. apabila aku terlambat pulang ke rumah maka otomatis dia tidak akan menyiapkan makanan.

Aku bertemu dengan temanku Koko jam delapan pagi di churchill square, dia juga merupakan peserta program belajar budaya masyarakat Inggris dengan program Homestay dari EF. Koko seumur dengan aku, bedanya aku dari kaltim dan dia dari jateng. Churchill square merupakan pusat kota Brighton hove, tidak ada satupun rumah penduduk di sekitar wilayah Churchill Square. wilayah ini khusus menjadi tempat niaga, tempat wisata dan sentral dari lalu lalangnya bis kota. begitu rapi, indah dan jarang sekali ada sampah berserakan. Starbucks coffee menjadi tempat berkumpulnya anak muda kota Brighton. aku yang tidak begitu menyukai fast food seringkali hanya lewat dan melihat-lihat saja. sesekali aku dan teman-temanku termasuk Koko makan di Chinese Food. kami senang bila makan di Chinese Food, karena tukang masaknya adalah orang malaysia. sehingga aku sangat mudah berkomunikasi dan meminta makanan yang sesuai prinsip.

Masyarakat Kota Brighton sangatlah disiplin terlebih individualis. mereka tidak akan peduli terhadap hal-hal yang bukan jadi urusan mereka. Siang itu merupakan hari terakhir kami berada di kota Brighton, aku yang senang berjalan-jalan memutuskan untuk mengikuti Koko yang katanya ingin membeli dasi. sembari melihat-lihat dasi aku bertanya kepada Koko " kamu beli dasi untuk siapa ko ? ", tukasku. Koko tetap asyik melihat-lihat motif dasi sambil dengan serius menjawab " aku mau beli dasi untuk Bapakku, Bapakku itu sosok yang sangat ku hormati ". Aku terheran-heran, jauh maju sekali cara berpikirnya. aku dengan santai pun ikut melihat-lihat dasi yang bermotif unik ala orang Inggris itu. aku pun membeli satu dasi untuk ayahku berwarna kuning, bercorak kotak-kotak.

Merah ! Panas ! mengalir secara mengejutkan ! pikiranku menjadi kacau !
Aku berlari meninggalkan Koko, dengan cepat aku menyusuri pinggiran jalan depan pertokoan churchill square. Tujuanku satu! sebuah Shopping center yang terletak pas di tengah Churchill Square. Aku berlari sambil memegang hidungku, darahnya merembet melewati sela-sela jari tanganku. beberapa manusia dari berbagai ras hampir saja ku tabrak. kepedulian mereka terhadapku tidak ada! mereka hanya melihatku yang sedang berlari tanpa ada pertolongan. sesekali ku lihat wajah mereka menaruh simpati, tetapi mereka terus berjalan dan tidak menolongku. aku berlari sangat cepat, ku naiki tangga di Shopping center menuju ke lantai teratas karena hanya disitu aku ingat ada kamar kecil yang akan sangat membantuku. Akhirnya! aku masuk dan membasuh tanganku, begitu juga hidungku. Aku MIMISAN kawan! maklumlah, fisikku termasuk agak susah menerima perubahan drastis cuaca. hal inilah yang mengakibatkan hidungku mengeluarkan darah. setelah aku selesai membersihkan darah-darah di tanganku , perlahan Mimisan mulai berhenti. aku pun keluar dari kamar kecil itu, tak ku sangka di depan kamar kecil itu Koko duduk dan menunggu. dia membawakan aku tissue sebagai bentuk kepeduliannya, aku sangat berterima kasih. Momen yang susah untuk terlupakan. dimana aku harus menerima kenyataan, dan ternyata teman yang baru aku kenal di Inggris raya ini sangatlah baik dan paham dengan apa yang sedang dihadapi oleh orang lain.

Kini aku telah di ujung waktu kuliah. mata kuliahku telah habis, tinggal skripsi yang harus ku selesaikan.
cerita itu berkisar 5 tahun yang lalu, aku mengingatnya lagi tadi malam saat duduk bercengkrama di rumah kawanku Qadri. saat asyik bercerita. aku memegang hidungku karena terasa ada cairan, dan setelah aku melihat tanganku ternyata darah! aku bergegas ke kamar mandi, Qadri pun mengambilkan tissue.

di dalam kamar kecil itu, ingatanku berputar-putar. kisah yang pernah terjadi suatu hari di kota brighton pun keluar dari penyimpanan ingatan. aku menulisnya agar ingat. aku memang beruntung, kenangan di kepalaku bagaikan potongan-potongan film penuh suasana. Tuhan telah menganugerahkan kepadaku Ingatan yang baik.

Momen itu teringat menyeruak di dalam kepala, menyentuh setiap sendi pikiran, aku teringat kawan baikku Koko yang sudah tidak ku tahu dimana rimbanya. sesekali ku dengar kabar dia kini kuliah diluar negeri oleh beberapa kawan yang juga telah lost contact. tapi aku tetap tidak mengetahui dimana dia berada...

kebaikan itu akan ku lanjutkan kawan!