Minggu, 04 November 2012

Bidadari Musim Hujan


di mana kau berada di sana cintaku
Walau ke ujung dunia, pasti akan ku nanti
Meski ke tujuh samudera, pasti ku akan menunggu
karena ku yakin kau hanya untukku

Untukku - Chrisye








Kaos AC/DC kuning bulukku terkena kuah bakso, imbas dari kecerobohanku saat makan. Ya, aku memang sering memegang sendok dan garpu pada bagian ujung atas. Sehingga memang peganganku tak terlalu erat. Jack yang duduk di hadapanku daritadi hanya diam saja, ia telah menghabiskan semangkuk bakso dan mulai menghembuskan asap telpus.
Saat itu langit sedang berganti warna, keadaannya sunyi. Lampu putih warung bakso menerangi setiap insan yang ada di dalamnya.

Celana jeans sobek dan rambut Afro ala Ahmed Albar adalah sebuah ketidaksengajaan dalam penampilanku sore itu.

Tepat di belakang Jack duduk dua orang wanita, mereka terlihat sangat akrab. Sesekali keduanya ku dengar tertawa hebat. Sampai waktu hujan turun dan petir mulai iseng menunjukkan dirinya barulah kedua wanita itu terlihat tenang. Warung bakso tempat kami makan itu bentuknya kubus, bersih dan di sekitarnya banyak terdapat tanaman tropis. 

Aku mengambil telpus dari kotaknya, ku nyalakan dan aku mendengarkan sesekali Jack menceritakan informasi sekitar daerah, kampus dan juga perkembangan musik. Aku terus mendengarkan, tapi konsentrasiku mulai pecah ketika seorang wanita yang duduk di belakang Jack mulai mengambil gambar temannya dengan kamera handphone. Entah sengaja atau tidak, tapi aku merasa wanita itu mengarahkan kamera itu agar aku juga terlihat dalam gambar yang diambilnya. dilakukannya berulang kali dan sesekali saat aku bertemu pandang dengannya, ia tersenyum.
Kadang kami saling membuang muka, tapi setelah itu saling berpandangan lagi. Parasnya memang elok, rambutnya hitam panjang dan anggun sekali, ia menggunakan kawat gigi dan menggunakan jam tangan ala syahrini. Wanita yang satu lagi hitam dan agak tomboi.

Jack yang dari tadi tahu tingkahku mulai janggal, mengambil langkah melihat ke belakang. Mencari tahu apa yang sedang terjadi. Jack berbisik kepadaku " lagu lama ini kalo ente cinlok ma cewe' dimanapun berada, tapi kali ini aku mendukung bro! cocok ma ente ", ucapnya dengan senyum seperti patih gajahmada. Aku menerka-nerka kenapa kedua wanita itu belum pulang juga, hampir 1 jam mereka duduk di warung bakso ini. Jack memberitahuku hasil analisanya " mereka pasti menunggu hujan yang begitu awet ini reda bro ", pungkasnya. Aku mulai sependapat dengan analisa itu. Aku kasihan melihat wajah mereka yang mulai murung menunggu hujan yang tak kunjung reda, ingin rasanya akumengantarkan mereka karena aku menggunakan mobil, Jack bersedia untuk membawakan motor mereka di tengah hujan itu. Jack dengan sukacita rela berkorban, karena katanya wanita itu memang hadiah Tuhan untukku. Aku tergelak lucu mendengar ucapan Jack, tapi jauh di dalam hatiku aku sepakat tanpa bantahan sedikitpun.

Ketika lagi-lagi kami saling berpandangan, Wajah wanita itu seperti memberi isyarat, dia akan senang hati menerima bila aku ingin berkenalan dengannya. 

Saat Hujan mulai reda, aku bergegas untuk mendekati wanita itu menawarkan bantuan. Tapi mendadak saat berdiri di hadapannya, ku rasakan langkahku kaku, jam tanganku rasanya berhenti berdetak detik, lidahku kelu. Wanita itu memandangku dengan wajah anggunnya, ia mulai memakai helmnya. Jarinya lentik dan kukunya dicat merah muda, tangannya putih dan langsing sekali. Saat lidahku sudah tidak kelu lagi, wanita itu ternyata sudah berada di atas motor dan langsung melaju dengan cepat menghindari setiap tetesan hujan.

Jack mengatakan " ayo kejar bro! ", aku bergegas menghidupkan mesin mobil. Hujan mulai deras lagi, aku melaju dalam kecepatan yang tak pernah kualami sebelumnya. Saat di samping kiri kami terlihat samar-samar pasar Tangga Arung Hampir saja kami mendekati motor wanita itu, Tapi di ujung jalan yang kami lalui ada plang perbaikan jalan. Mobil dipastikan tidak mungkin lewat, motor wanita itu bisa lewat. Aku kecewa berat.

Tapi Jack menekanku semangat untuk mengejarnya, aku bergegas untuk mengambil arah putar ke jalan alternatif.
Saat aku sampai ke jalan di depan gerbang pasar Tangga Arung. Wanita itu sudah tidak ada lagi, aku tak tahu ke arah mana ia berbelok dan dimana rumahnya. aku berputar mengelilingi kota itu menyusuri jejak yang tersisa di hatiku. Pinggiran sungai Mahakam ku susuri sampai aku tak tahu lagi kapan ku harus berhenti. Hingga akhirnya aku harus kembali karena waktu sudah larut.
Karena aku tak sempat tahu namanya kuberi wanita itu nama Bidadari Musim Hujan.
*

di atas pont de Normandie yang menghubungkan kedua tepi Sungai Seine Perancis. Aku berjalan dari arah selatan kota Paris yang tua dan kuno menuju ke Utara. Langit sore yang sendu di musim gugur menyajikan panorama kota Paris yang tertata dan sudah direncanakan oleh Napoleon Bonaparte. Jack berada di belanda melanjutkan studi hukum ke Negara penjajah kita itu. Aku telah meraih gelar doktor ilmu sosial di Sorbonne.

Saat aku sampai di La Rive Droit ( tepi kanan sungai seine ) atau biasa disebut paris utara oleh para turis, aku duduk dan merenung melihat lalu lalang kapal-kapal kecil yang melintasi sungai indah ini. Hingga daun berguguran dan angin sungai bertiup sepoi-sepoi menggoda wajahku. aku baru tersadar bahwa hujan akan membasahi bumi ketika setetes air jatuh tepat di ujung hidungku.

Aku segera mencari mencari pohon besar yang bisa menghindarkanku dari hujan yang begitu deras. Saat aku berteduh dan mengambil jacket tebalku dari dalam tas ransel seorang wanita datang dan berteduh disampingku. Aku tidak begitu memerhatikannya karena aku sudah ditemani telpus. Asap telpus menjadi suasana dan monolog dalam renunganku.

Saat langit mulai berhenti menangis, aku sedikit berbasa basi kepada wanita berkacamata hitam itu " La pluie a commencé à se calmer " ( Hujan mulai reda)  , ungkapku dengan nada sengau ala prancis. Wanita itu mengangguk dan menjawab " Aku mulang duluan yoh.. " dengan nada bahasa Kutai. Aku terkejut setengah mati, bagaimana bisa di tengah kota peradaban dan mode dunia yang terpisah samudera, berbeda benua dengan Negaraku indonesia, ada seorang wanita di tepi sungai seine yang berbahasa Kutai menjawab basa basiku yang berbahasa prancis.

Wanita itu membuka kacamata hitamnya dan menaruhnya di dalam tas, aku mulai mengenalinya. Hatiku berteriak kencang, semua semangatku yang hilang seketika muncul kembali. Bidadari musim hujan ada di depan mataku.

Dari kejauhan aku tetap berdiri di bawah pohon, memerhatikan dirinya berjalan di bawah sisa tangisan langit hingga ia tak terlihat lagi oleh mata minus satu ku. Aku tidak lagi mengejarnya, karena aku yakin jika ia hadiah Tuhan maka ia akan selalu ada di dekatku sampai akhir waktu.


Ku tulis cerita pendek ini di belakang poster politik yang ditempel di sudut utara Place de la Bastille, sebuah distrik tempat demonstrasi bersejarah di tepi kanan sungai seine. 

Dari yang selalu ingin mengenalmu
Oh bidadari musim hujan
Jika kau hadiah Tuhan, semoga kau membacanya.




Senin, 08 Oktober 2012

Kankat new single!

Masa SMA adalah masa paling indah dalam hidup seseorang, masa dimana mengenal harga diri, cinta dan cita. Itulah mengapa kemudian Kankat menulis lagu ini.

Rabu, 03 Oktober 2012

Seribu Tahun


I have died everyday
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more
(Christina Perri – Thousand Years)

Awan adalah saksi dari bergantinya rotasi hari, bentuknya abstrak dan tak memiliki kemiripan dengan apapun. Ayah tak memperbolehkanku berandai-andai dengan bentuk awan. Ayah tak ingin aku menjadi pengkhayal. Aku tentu menurut, karena bagiku petuah orang tua adalah suatu keharusan yang mesti diikuti karena didasari niat baik. Tetapi sesekali kadang tindakanku berontak, aku mencuri-curi untuk duduk atau berbaring di atap rumah untuk memerhatikan bentuk awan.
Kadang aku heran, aku sering membuang waktu untuk melihat awan dalam kurun yang panjang. Sambil ku hisap beberapa batang pilinan tembakau amerika. Imajinasiku mengelilingi dunia, sampai tak sadar ini sudah jam berapa.
*
“ kamu darimana aja, gak angkat telponku dari tadi ? “, Suara dari ujung telepon pintar itu menggetarkan aku. Aku menjawab sekenanya. Karena kebiasaan unik itu tak mungkin mudah diterima penjelasannya. Apalagi untuk orang yang selalu curiga dengan setiap gerikku.


Rani memang paling pintar untuk mencari-cari kesalahanku, aku sudah 6 tahun berteman dekat dengannya. Dia lah yang selalu membuat keributan denganku setiap hari melalui telepon pintar. Baginya cinta adalah keributan, cemburu dan keras kepala. Aku bingung dengan perlakuannya, karena aku bukan siapa-siapa baginya.

Aku sering menjawab dengan sikap asliku, cuek dan individualis. Aku pernah tinggal di eropa di waktu remaja. Sehingga gaya hidupku sehari-hari banyak terpengaruh mazhab liberalis. Aku kadang tidak menghiraukannya seharian. Tapi tak menghubunginya pun masalah, karena aku kadang merasa kasihan dengan sikapnya yang kekanakan.


Rani sebenarnya gadis baik, dia tak pernah mengenal cinta seutuhnya. Ia hanya melihat bagaimana kawan akrabnya menuturkan masalah-masalah dalam hubungan percintaan. Sehingga ia mengira ribut, cemburu dan keras kepala itulah cinta.


Malam itu dia meminta kejelasan padaku, aku tak mengatakan apa-apa selain mari kita menatap masa datang dengan bebas merdeka. Aku tak suka dalam kondisi dimana aku didesak untuk sebuah kepastian yang bukan hakku untuk menentukanny
a. Aku lebih suka menjalani tanpa pengharapan yang pasti.

*

Malam itu aku berjalan kaki di Salemba, aku tak menemukan apapun yang aku cari. Dia menelponku, mengirimkan pesan dan memaksaku untuk memberikan kepastian. Jika memang cinta itu bahkan seribu tahun lagi, untuk apa kau minta kepastian hari ini. Aku tak mau membuatmu tergantung, karena aku tak suka digantung. Aku tak suka dengan suasana begini, inilah yang menyebabkan aku terus nomaden dalam cinta. Hanya satu insan hawa yang pernah membuatku penasaran, dan itu bukanlah Rani. Kawanku berpendapat “ Realistis saja lah San!, jangan suka berharap pada yang belum memberikan jawaban “, katanya. Aku hidup bukan untuk sebuah jawaban pasti, Ilmu pasti hanya mengajarkan kepastian yang terukur. Namun dalam aplikasinya relativitas akan mengintervensi sampai ke lubuk substansi. Jika pun aku mati setiap hari karena menunggu, aku tak ragu karena cinta bagiku bertahan seribu tahun dan lebih. Aku tak akan pernah mau terkekang dengan seseorang yang hanya mempertanyakan kepastian yang sudah padam di hatiku.


Aku tak bertanggung jawab atas diri Rani, karena aku tak pernah merugikannya barang sedikit pun. Dalam logika satu dikurang satu adalah nol. Nol adalah bilangan tak terbatas. Hari ini hubungan kami sudah nol dan itu berarti tak terbatas. Aku berhak untuk mengejar lagi impianku, membuktikan pada Ayah bahwa aku bukan seorang pengkhayal. Rani pun bebas untuk menentukan kemana dia akan pergi.
Mulai esok aku akan bangun dengan sikap tak terbatas, namaku Ahsan.




AKU
Kalau sampai waktuku'
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
BerlariHingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar
Maret 1943





Kamis, 06 September 2012

Lihatlah bintang-bintang

Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow

Yellow – Cold Play


Senja sering menjelaskan bagaimana gradasi warna telah menjadi sebuah monolog alam yang mengajak manusia mensyukuri keindahannya. Menjadi epilog aktivitas rasionalitas manusia yang terbatas, sekalipun dalam memotivasi kehidupannya seringkali kita pun harus memungkirinya dalam rangka mengoptimalkan segala potensi. Karena ketaklidan buta dan sifat minimalis yang berbuat sekedarnya telah berperan protagonis dalam kemunduran peradaban manusia.

Bagi pengagum keindahan malam maka senja ialah pertanda, dimana ia bisa melanglang buana tanpa peduli masuk angin (Pen : penyakit khas Indonesia). Malah sebagian justru masuk ke dalam perangkap Jahiliah dalam wajah modern. Begitulah jika menerima sesuatu tanpa mengerti substansi.

Suara panggilan ibadah bagi para pengikut agama mayoritas telah berkumandang, hiruk pikuk jalanan mulai berkurang entah karena semua pengikut agama mayoritas itu pergi melaksanakannya atau takut melakukan aktivitas karena mitos yang telah membusuk di dalam sanubarinya. Turun dari vespa kongonya seorang mahasiswa pascasarjana, gaya pakaiannya yang amburadul membuat para jamaah masjid yang sudah mensucikan diri itu mengira ia hanya singgah untuk duduk karena juga takut mitos. Sebuah mitos memang mempengaruhi sugesti dan perilaku, di kota itu masyarakat percaya bahwa perubahan warna langit dari terang ke gelap akan membuat seseorang sial jika masih beraktivitas langsung di bawah langit. Ternyata dugaan selalu mengandung benar dan salah, Mahasiswa itu mengambil wudhu dan Shalat. Dari kejauhan dua orang berambut cepak mengawasinya.

“ Kamu itu dicari oleh intelijen, kenapa kamu masih menemuiku?,“ sorot mata bola ping pong itu bertanya dengan gelisah. “ Ahh, itu hanya perasaanmu saja,“ dengan nada beratnya Alka menenangkan gadis bersuara cempreng itu.“ Kamu selalu membuat masalah dengan ide-ide gilamu,“ katanya lagi. “ Sudahlah, mari kita bicarakan hal lain, ” tutupnya agar tidak tegang. Menikmati malam di tepian sungai mahakam adalah sebuah cara yang ditempuh Alka untuk bisa menemui Karina. Karena Karina memang setiap malam kamis dan sabtu malam selalu menunggu Alka di cafe mahakam itu, Alka selalu berganti penampilan setiap keluar rumah. Malam itu ia gunakan topi ala bruno mars, dan menggunakan blazer coklat tua. Sedih sedikit hatinya tapi tak mau ditunjukkannya melihat diri Karina yang hanya tertunduk diam. Karina sesekali melihat mata lelaki itu. Kesan optimis memang tidak bisa dilepaskan oleh gayanya, lebih jauh dilihatnya ke dalam sorot mata itu tidak terkandung sedikit pun penyesalan. Dirinya perempuan biasa yang tak tahan membayangkan nasib buruk akan menimpa lelaki yang sungguh disayanginya itu.

Kembali seperti yang selalu dilakukannya, lelaki itu mencuri beras bantuan dari gudang pemerintah. Kemudian membagikannya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Sebagai mahasiwa pascasarjana, Alka tentu tahu cara lain untuk meminta rasa adil bagi masyarakat yang dibelanya. Tapi pemerintah kota itu telah tidak benar membagikan beras jatah miskin itu, justru mereka memberikannya kepada orang-orang yang sebenarnya mampu membeli sendiri. Masyarakat yang papa dan membutuhkan justru tidak pernah terlayani oleh bantuan praktis itu, di pemerintahan memang seringkali digunakan istilah oknum untuk menyebut perseorangan yang melakukan penyimpangan. Tetapi bagi Alka, kumpulan oknum telah mengisi pemerintahan. Pernah ia memberikan kritik dalam sebuah media massa, esoknya media massa itu dibredel. Lewat jejaring sosial pun tak kalah semangatnya bersahutan, akun jejaring sosialnya dihack dan dimasukkan gambar-gambar tidak senonoh. Ia menjadi takut dan ngeri untuk mencoba menyampaikan pikiran dan pendapatnya kepada pemerintah melalui ucapan.
Pikiran jernihnya sebagai mahasiswa pascasarjana sosiologi tentu tidak dapat dipungkiri, mewujudkan rasa aman dalam masyarakat baginya tiada mungkin apabila kebutuhan fisik masyarakat tidak terpenuhi terlebih dahulu. Teori 5 kebutuhan manusia Maslow ada di luar kepalanya.

“ Terima kasih nak Alka,“ ucap nenek uzur menyambut beras, nenek itu tinggal di sebuah perkampungan kumuh. ” Di saat ayahmu dulu menjadi walikota kami tidak pernah kesusahan macam ini. Kamu itu pahlawan bagi kami, mudah-mudahan nasib baik selalu melindungi.” sambung Nenek itu. Nenek ini adalah salah seorang dari ribuan masyarakat miskin yang ditolongnya. Kampung Nenek itu adalah pemukiman kumuh di ujung utara kota itu yang hanya didatangi saat kampanye politik penguasa. Mereka selalu diberikan angin segar 5 tahun sekali dan angin badai ekonomi hampir separuh hidupnya. Alka hanya tersenyum kecil, ia tahu bahwa yang dilakukannya adalah hal mulia dengan cara tidak mulia. Tapi apalah lagi cara, mengambil tindakan ini sebenarnya adalah bunuh diri pelan-pelan. Karena ayah Karina si Walikota tangan besi pasti akan menggerakkan kepolisian untuk menangkap pencuri baik hati ini.

Alka telah yatim piatu semenjak 2 tahun lalu tinggal sendiri di rumahnya, sebuah rumah tua yang sudah jadi cagar budaya kota itu. Malam minggu itu harusnya jadi malam yang menyenangkan baginya karena dapat menemui si mata indah bola ping pong yang semampai berkerudung itu. Tetapi situasi berkata lain, mobil polisi mengepung rumahnya malam itu. Alka yang setelah Isya tadi hanya mendengarkan lagu yellow dari coldplay dan sedang memilih-milih baju di lemarinya terkejut karena mendengar dobrakan keras dipintu depan. Alka yang paham dengan sejarah kota itu mengambil inisiatif, rumahnya memiliki hubungan dengan rumah dinas walikota. Sebuah lorong bawah tanah menghubungkan rumah Alka dengan garasi di rumah dinas. Segera ia bergegas untuk masuk ke ruang bawah tanah itu, terburu-buru ia berlari hingga tak ingat menutup pintu masuk lorong rahasia itu. Alka tidak pernah menggunakan semua perangkat teknologi semenjak hacker menembus akun pribadinya, telepon jinjingnya yang disadap pun menghalanginya untuk melakukan segala bentuk komunikasi.Di garasi rumah dinas walikota, Alka berhenti untuk menulis lirik lagu coldplay itu. Ia selalu mengutip lirik lagu untuk Karina Amir, anak Walikota Amir. Kertas dan pulpen yang selalu ada di saku kemeja lengan panjang berkantong itu dipakainya menulis lirik itu yang sudah diartikan sendiri dalam bahasa Ibu. Digubahnya sedikit menjadi sebuah kata-kata pribadi.

Pintu lorong rahasia yang terbuka telah memberikan kesempatan besar intel untuk menangkap basah pencuri baik hati itu. Alka terkejut ketika melihat dua orang intel berambut cepak dan berbadan tegap sudah berada tepat di belakangnya. Siap meringkusnya dengan bengis. Keributan di garasi itu menimbulkan rasa penasaran bagi Karina yang sedari tadi duduk di teras depan menunggu Alka yang memang sering dalam diam menjemputnya untuk menikmati pemandangan kota yang dari atas bukit terlihat samar-samar indah itu. Alka berlari kencang melewati gadis itu, memegang tangannya sekejap dan terus berlari ke arah yang tidak diketahui. Intel terus mengikuti dan memberikan tembakan peringatan. Karina yang tidak siap dengan kejadian itu berlutut dan menitikkan air matanya. Di tangannya tergenggam sebuah lirik pembuka lagu yellow dari grup musik cold play. Di bukanya pelan-pelan kertas yang remuk itu, dibacanya lamat-lamat lirik lagu yang telah menjadi jadul itu. Air matanya terus keluar seolah mata tak punya cara untuk membendungnya.

Lihatlah bintang-bintang
Lihatlah bagaimana mereka bersinar untukmu
Dan semua yang kau lakukan
Ya, mereka semua kuning

Jika bintang selalu menyinarimu setiap malam, aku ingin seperti itu.

                                                                                  17-8-2045

                                                                                   Alka


Suara tembakan berbunyi dari kejauhan, suara sirine yang mengepung dan suara jerit tangis masyarakat di utara kota itu menandakan bahwa pahlawan muda itu telah tiada. Karina tertunduk pucat terus menangisi kejadian mengejutkan di depan garasi, dirinya shock dengan tragedi penuh momentum melodramatik yang begitu cepat. Orang tua Karina keheranan melihat tangis Karina, mereka tak pernah tahu siapa pencuri baik hati yang tertembak mati itu. Atau mungkin pura-pura tidak tahu.


Kamis, 05 Juli 2012

Pra Sarjana dan Pasca

Bagi sebagian orang yang menyukai sesuatu yang instan barangkali gelar sarjana adalah hal yang terjangkau untuk dibeli, tapi bagi orang-orang yang menikmati perjuangan mencapai gelar sarjana adalah sebuah pencapaian Ikhtiar dan keniscayaan Takdir. Tantangan menggapai gelar sarjana itu ada dua, pertama tantangan teknis seperti susahnya mencari referensi, sulitnya bertemu untuk konsultasi dengan dosen dan revisi yang datang bertubi-tubi. Kemudian tantangan yang kedua adalah tantangan psikologis seperti rasa traumatik yang berlebihan karena pernah dimarahi dosen akibat kesalahan yang tidak juga fatal, rasa malas berkepanjangan dan penyakit suka menunda urusan di hari selain senin ( karena beranggapan semua masalah akan beres bila kita bisa bangun hari senin pagi ) Hari senin dianggap hari paling punya peluang untuk ketemu dosen dan staff akademik untuk berurusan padahal tidak bisa bangun juga kadang, akhirnya mengulang menunggu hari senin lagi senin lagi.

Dalam pada itu Mahasiswa tingkat akhir saya klasifikasikan menjadi dua, yaitu tipikal "pemikir keras" dan "pekerja keras".
Pemikir keras adalah orang yang belum juga mengajukan judul tapi dia sudah menentukan hasil lewat pikirannya, hal ini membuat dia tidak pernah percaya pada kekuatan nasib. Sesudah judul diterima, begitu ingin maju konsultasi dia merevisi skripsinya sendiri berkali-kali sebelum direvisi oleh dosen. Padahal secara gamblang kita semua tau, tugas dosen adalah merevisi. Para dosen digaji untuk merevisi, sudah barang tentu kita seharusnya tahu dan paham kita hanya cukup mengerjakan. Biar revisi dipikirkan oleh dosen.
Yang kedua adalah tipe "pekerja keras", inilah tipikal yang membuat orang lulus cepat bahkan cum-laude. Panas, hujan, siang dan malam dia terus mengerjakan skripsinya tanpa pernah merevisinya sendiri. Kadang saking semangatnya latar belakang penelitian yang seharusnya ditaruh di BAB I justru dia letakkan di BAB IV, hasilnya adalah dimarahi bahkan ditertawai dosen habis-habisan. Tetapi tak kenal menyerah, amarah dosen justru dijadikannya pecutan keras di jiwanya hingga ia mampu menyelesaikan skripsi sesuai dengan harapannya.

***

Menuju seminar proposal saya punya pengalaman unik karena saya salah mencatat nomor telepon dosen pembimbing, begitu saya sampai ternyata saya salah alamat. Alhasil saya kena marah oleh dosen salah alamat itu. Karena mental saya baja, saya meminta maaf baik-baik dan berdiskusi dengan dosen itu. Untungnya dosen yang saya salah datangin rumahnya itu adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi yang juga saya ikuti selama kuliah sebagai tempat pengabdian terhadap Ummat Bangsa.

Seminar demi seminar saya lewati dengan mental sekeras baja, bangun pagi dan membeli makanan terenak di kota samarinda, menyiapkan pakaian terbaik dan menyebar undangan untuk seminar. Kesana Sini berkeliling mengurus berkas agar semua terlengkapi. Belum lagi teriakan keras dosen di ruang seminar, revisi yang kadang tidak saya pahami apa maksudnya, dan galau sana sini menunggu dosen yang kadang suka membuat hati resah karena tidak menjawab telpon. Semua hal rumit dan menggalaukan itu tidaklah membuat saya gentar untuk mencapai gelar sarjana.

***
Saat sebelum yudisium akan dilaksanakan PD 3 menelepon saya dan mengatakan saya harus jadi perwakilan yudisiawan, menyampaikan kesan dan pesan. Biasanya yang mewakili yudisiawan adalah mereka yang cum-laude dan memiliki IPK tertinggi. Tetapi Pak Heriono mengatakan bahwa saya lah orang yang paling tepat untuk berada di podium itu. Entah alasannya apa, saya tidak ingin berekspektasi berlebihan karena hanya akan menyebabkan saya terkena penyakit Gigantisme aktivis.

Yang saya lakukan adalah memberikan sambutan kontekstual, berterima kasih kepada dosen atas bimbingan dan ujiannya, orang tua dari kampung halaman yang telah berdo'a, mendorong, mengirimkan dana agar bisa lulus dan menebar harapan kepada kawan-kawan yudisiawan agar memiliki cita-cita besar menjadi kepala daerah di daerah asalnya masing-masing serta sebuah pantun ceria yang disambut meriah oleh hadirin.

*

Akhirnya besok sudah waktunya untuk wisuda, dengan segala kerendahan hati saya bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah membuat skenario indah bagi saya dalam usia muda ini, saya mencapai gelar sarjana sosial bidang ilmu administrasi negara dalam usia 21 tahun.

Pada umur 23 nanti saya ingin mencapai gelar magister administrasi publik di Universitas Indonesia dan menggapai gelar Doktor Administrasi Publik di Harvard Kennedy School Amerika Serikat di usia 26.

Dari TK sampai lulus SMA saya lalui di ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, masa aktivis Mahasiswa S-1 saya lewati di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, S-2 ingin saya jalani di Ibukota NKRI, dan gelar Doktor akan saya capai di Ibukota dunia internasional tempat semua bangsa berkumpul dan berkompetisi Amerika Serikat.

Semua pilihan itu saya ambil demi keluar dari zona nyaman, demi kebijaksanaan hidup, demi Iman dan Taqwa yang lebih kuat di hari-hari akan datang dan demi masa lalu yang terlewati dan cita-cita yang tergantung di langit tinggi.

Jalan-jalan ke pasar segiri, jangan lupa membeli ikan
Perkuliahan telah kita akhiri, semoga sukses di masa depan!

Senin, 02 Juli 2012

Melempar batu ke Mahakam

selasa malam jam 23.00 
keadaan sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di jalanan. 
Aku, Edo dan Pandi duduk di pinggir tepian sungai mahakam Tenggarong. Masyarakat Tenggarong biasa menyebut tempat ini dengan sebutan "Ancol". Tepian atau Pinggiran sungai yg biasa di sebut "Ancol" ini terletak di depan Planetarium Kota Raja, berbeda dari tepian yang ada di daerah timbau dst. karena tepian ini dihiasi dengan taman dan tempat duduk yang Indah, suasananya terasa hening udaranya pun bersih dari polusi. Angin berhembus sepoi-sepoi malam itu, aku menggunakan jaket tetapi kedua temanku itu tidak. mereka tidak merasa kedinginan, karena lampu jalan yang begitu terang cukup menghangatkan kondisi Ancol malam itu. aku memang seringkali duduk merenung di ancol, tetapi ini kali pertama ku ajak kedua sahabatku untuk bertukar pikiran tentang masalah-masalah kehidupan. Pandi memulainya dengan bercerita tentang hubungan pertemanannya yang hampir retak karena seorang wanita, kemudian Edo membuka topik berikutnya mengenai gaya hidup anak muda tenggarong yang penuh dengan gengsi dan kesombongan, aku mendengar cerita mereka sambil meminum susu kemasan. Sungguh banyak sekali hal yang kami bicarakan malam itu, sampai2 saya lupa apa saja yang telah dibicarakan. tetapi satu yang saya ingat adalah akhirnya kami mendapat kesimpulan bahwa Masalah adalah Inti dari kehidupan, ketika tidak ada masalah maka yang ada adalah kehidupan datar/monoton. Masalah membuat hidup kita menjadi dinamis dan diri kita menjadi semakin dewasa karena kita harus memilih langkah terbaik dalam menyelesaikannya. 
... 
susu yang ku minum telah habis, ada mitos di kukar yang mengatakan bahwa kalau kita membuang sesuatu ke mahakam dan menaruh harapan dan cita-cita maka akan terkabul di kemudian hari. aku membuang kaleng susu itu ke sungai mahakam dan berteriak " Aku Ingin Menjadi Bupati kukar!!! " teriakanku memecah keheningan malam. selanjutnya Edo membuang kulit kelengkeng dan Berteriak " Aku Ingin jadi pengusaha sukses!!!" teriakan edo mengejutkanku, karena aku tidak tahu kalau dia juga mengikuti apa yang ku lakukan. cita-cita yang kami impikan sungguh sangat tinggi dan gagah. tiba-tiba tanpa disangka Pandi mengambil batu, melemparkannya ke sungai Mahakam dan berteriak " aku ingin diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki!!! " , aku tertegun melihatnya berteriak seperti itu, aku dan edo serentak bertanya " kenapa kau hanya mau sehat dan rezeki pan??" bukankah kita harus menarget cita-cita dan harapan setinggi-tingginya... Pandi kemudian menjawab " kita bisa menjadi apa saja ketika kita sehat jasmani dan rohani, lalu kita bisa mendapatkan apa saja apabila Tuhan memberikan kemudahan rezeki...tanpa sehat dan rezeki kita tidak akan mampu meraih cita-cita kita..." aku dan edo terdiam, kami merasa apa yang dikatakannya benar dan selama ini kami hanya bercita-cita tentang pekerjaan atau profesi, tidak pernah terlintas dalam benak kami tentang Kesehatan diri dan Kemudahan rezeki... 

Seandainya aku tidak mengajak Edo dan Pandi ke Ancol malam itu mungkin aku tidak pernah sadar bahwa ada yang lebih penting daripada Cita-cita Pekerjaan semata... 
aku sadar bahwa selama ini pemikiran kita telah diracuni oleh ketakutan terhadap masa depan yang suram, masa depan yang sangat kompetitif yang akan menyisihkan orang-orang tak berguna... 
Masa depan yang mengharuskan kita memiliki cita-cita pekerjaan bahkan dari bangku TK / playgroup.. 
terima kasih kepada Pandi dan Edo, karena tanpa "bekesahan" dengan kita, aku tidak mungkin sadar akan pentingnya Kesehatan dan Kemudahan Rezeki. semoga di kemudian hari kita bisa selalu diberikan kesehatan dan kemudahan rezeki serta mampu meraih cita-cita pekerjaan yang kita inginkan. 


Kamar Tenggarong, 23 september 2009

Kekalahan bukan akhir

" Di saat kita merasa diri kita kalah
lihatlah ke belakang kita, terkapar orang lain yang lebih kalah "
- Azwar


Sebuah kisah tentang Dunia Politik Mahasiswa
Semoga bisa Menginspirasi teman2 Mahasiswa semua...



Malam hari, aku keluar dari kampus setelah penghitungan suara pemilu selesai.
Aku melewati taman-taman kecil yang menghiasi kampusku, pohon2 besar menemani langkah bayanganku. sesekali kendaraan bermotor lewat dan cahayanya membasahi wajahku.
aku ingin sekali langkahku ini membawaku sampai di rumah, karena aku mencium bau tidak enak dari Kertas suara yang dibakar setelah di robek dan dihitung. suasananya begitu panas dan aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan.

Adalah kebodohanku ketika melakukan sesuatu tanpa ingin repot, aku ingin segala sesuatu dikerjakan dengan mudah tanpa harus kerja keras. Seharusnya kemarin aku mampu terpilih sebagai Presiden BEM Universitas di kampusku. kalau saja aku mau melakukan sesuatu yg telah ku rancang sebelumnya, tapi nyatanya aku sendirilah yang tidak mau melakukan semua itu karena bagiku merepotkan.

Memang itulah karakter hampir kebanyakan Mahasiswa zaman skrg pikirku, tidak mau repot, cuek dan cenderung suka bersenang-senang. Aku duduk dan menghisap rokok di pinggir jalan depan kampusku, aku berpikir tentang kegagalanku merebut kursi pimpinan mahasiswa tertinggi di kampusku.
" Sudah seperti ini, ke mana org2 yg kemarin mendukungku?" teman-temanku yang semula menjadi tim suksesku saat pencalonan, skrg menjadi penjilat di kubu lawan. mereka melakukan itu karena mereka takut apabila tidak memiliki jabatan maka mereka tidak akan dipandang sebagai Aktivis kampus.
Cewe-cewe kampus yang dulu menjadi fansku pun mulai tidak menyenangiku, karena mereka menganggap aku orang yang kalah dan tidak punya banyak pendukung.
Aku Marah, " aku ini hebat, bayangkan aku mampu mengumpulkan 113 suara mahasiswa di seluruh fakultas sedangkan lawanku hanya mampu mengumpulkan 13.000 suara di seluruh fakultas"
...
Sepertinya memang aku adalah kalah dan kalah adalah diriku, ku ingat-ingat kembali apa yang telah ku lakukan. kelalaianku adalah tidak mau terjun langsung ke mahasiswa untuk bersosialisasi. ku kira dengan wajah yang tampan, otak yang cerdas, retorika yang bagus, gaya yang stylish, pemikiran yang kritis, punya banyak teman maka aku akan terpilih sebagai Presiden BEM dengan mudahnya. ternyata iklim Mahasiswa hari ini adalah manifestasi dari iklim Masyarakat luas. Mahasiwa hari ini mayoritas apatis dengan keadaan kampus maupun Negara. Sebagian besar dari mereka memanfaatkan waktu untuk Datang, Duduk, Diam dan pulang Tidur.
Tapi sudahlah, bukan itu yg jadi masalah hari ini.

Aku adalah orang yang kalah, nasibku sial. aku orang yang bodoh dan lalai.
Mungkin kegagalanku ini juga karena aku jarang beribadah?. atau mungkin karena aku tidak minta di doakan dengan orang tuaku? atau jangan-jangan karena aku tidak suka menonton Film India---- Loh apa hubungannya?? aku mulai jadi gila karena kekalahanku
Karena seharusnya sekarang aku sudah menjadi Presiden BEM yang dengan begitu gagahnya berjalan di tengah2 mahasiswa/i kampusku. Mahasiswa/i akan menegurku dan bangga saat aku membalas teguran mereka.

Aku tenggelamm dalam kepesimisanku,
aku resah dengan kemampuanku
Aku tidak mampu untuk menang di dalam pertarungan
aku takut untuk mencoba lagi
Aku pasti Kalah seterusnya dalam kehidupan ini...


malam hari Dalam perjalanan pulang ke jln. Pramuka, aku mengeluh dan resah dengan nasibku yang jelek saat merebut kursi Presiden BEM. Aku menggerutu sendiri, marah dengan keadaan yang tidak enak.
aku menyusuri pinggiran lapangan bola pramuka, di depanku tempat sampah yang baunya amis.
aku terkejut karena aku tak menyangka, ada seorang lelaki tua yang terbaring di dalam sana.
aku mengira ia sudah mati " Pak, bangun" tegurku
ia terbangun seraya berucap alhamdulillah...
"terima kasih nak telah membangunkanku, aku tadi sedang bekerja memilah sampah-sampah ini... agar sampah kimia bisa di daur ulangg dan sampah yang basah bisa kembali menyatu dengan tanah.
tetapi diluar dugaaan aku tertidur karena aku lelah."
aku bingung melihat manusia satu ini, bajunya lusuh, Kakinya berkoreng dan wajahnya pun sangar.
Aku kemudian bertanya " Mengapa engkau tadi mengucapkan hamdalah/syukur saat kau ku bangunkan Pak tua?".
wajahnya menunduk dan tersenyum kecil "untuk apa aku mengeluh lagi dengan keadaanku ini?" ia kemudian melanjutkan bicaranya "aku sudah menemukan nikmat kehidupan ini anak muda. aku selalu bersyukur ketika aku habis kencing ataupun habis berak". 

Aku bingung dengan orang ini, bahasanya tidak menggurui tetapi begitu dalam masuk memenuhi relung jiwaku. Membuatku ingin bertanya lagi " kenapa kau bersyukur ketika kau bisa kencing dan berak?"

Ia menjawab dengan wajah sangarnya yang terkesan dingin itu " Saat aku bisa kencing ataupun berak sesungguhnya badanku adalah tekhnologi terhebat yang pernah ada di muka bumi ini ". " Tubuh kita memprosesnya dengan berbagai kerja di dalamnya, Bagiku itu sungguh hebat dan aku berterima kasih pada Tuhan akan hal itu" jelasnya.

Aku terperangah mendengarnya, tidak ku sangka orang yang keliatannya tidak berpendidikan ini, mampu menjelaskan sesuatu yang sederhana tetapi sangat berarti bagi kehidupan. 
tetapi tidak cukup, bagiku orang ini adalah orang yang tidak mengerti apa2 tentang Politik.
dia hanya berbicara sesuai pengalamannya, tetapi dia tidak mengerti teori pikirku.

aku kemudian dengan lantang bertanya kembali, berharap ia tidak mampu menjawab pertanyaan mahasiswa yang sulit-sulit " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" , dia pasti tidak mengerti dengan pertanyaanku dan dia juga tak akan mampu menjelaskan apapun.

Bapak tua itu diam dan mengambil sampah-sampah dari plastik dan kain. dia membentuknya menjadi seperti bola sepak, tidak bulat sempurna tetapi mampu menggelinding.
Ia kemudian mengajakku bermain bola di lapangan bola pramuka, lapangan hijau yang penuh dengan rumpit liar yang panjang dan tak terawat. aku heran ia belum juga menjawab pertanyaanku. " Ayo tendang bolanya, kita main pinalty kick" ia memutuskan untuk menjadi penjaga gawang dan aku menjadi penendang". ia memberi arahan kepadaku "kau harus menendang dengan keras dan penuh keyakinan". aku bingung, apa yang mau dia lakukan dengan bermain bola berdua di malam hari ini seperti ini. aku pun ikut saja karena aku masih penasaran dengan jawabannya.
aku menendang dengan keras, tak ku sangka bapak ini ternyata lincah sekali menjadi penjaga gawang.
" AYo semangat anak muda, masa' tdk bisa GOL sih??"
Aku menendang terus dengan wajah tersenyum ceria, akhirnya aku mampu menendang dengan baik dan menciptakan 1 GOL. setelah belasan kali menendang akhirnya tercipta sebuah gol.
Aku duduk kelelahan, bapak tua itu berdiri di depanku dengan gayanya yang dingin.
" Kau tidaklah kalah anak muda dalam meraih mimpi, hanya saja kau tak mau mencoba kembali apa yang pernah kau lakukan. Usaha itu adalah Ikhtiar, sedangkan nasib itu adalah Takdir. Manusia berusaha sebaik mungkin, Tuhan yang akan menentukan hasilnya " dia mulai memberikanku pencerahan.
" Saat kau menendang Bola tadi anggap saja kau sedang berusaha, dan saat kau mampu mencetak Gol itu adalah cerminan saat kau sukses. artinya jelas bahwa kau sebenarnya akan sukses meraih mimpi ketika kau berusaha dengan keras dan mencoba terus ".
aku mulai terpesona dengan apa yang dikatakannya, tetapi aku mengungkit lagi pertanyaanku yang masih belum di jawabnya tadi. aku mengulang pertanyaanku " Apakah orang yang kalah bersaing meraih keinginan harus tetap bersyukur? dan hal apa yang perlu di syukuri dari kekalahan itu?" .

Ia dengan bijak menyatakan " kau harus tetap bersyukur anak muda!! "
Aku butuh alasan " mengapa aku mesti beryukur, padahal Hidup ini tak adil" sanggahku

Bapak tua itu kini menyuruhku untuk meminum air yang dibawanya, " Minumlah ini nak" sembari ia menyerahkan botol air itu kepadaku.
" minumlah air itu, tetapi jangan kau telan dahulu sebelum aku selesai menjawab pertanyaanmu" 
Bapak tua itu bersuara dengan keras " apapun yang kau alami kau harus bersyukur, karena rasa bahagia maupun kecewa itu adalah nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita nak " ia melanjutkan
" Hal yang patut kau syukuri dari kekalahanmu adalah kau menjadi sempat untuk merenung dan berdiskusi dengan orang tak berpendidikan sepertiku, coba kau bayangkan seandainya kau terpilih?"
...
aku berpikir betul juga apa yang dikatakan bapak tua ini, air masih dimulutku dan belum ku telan.

" Seharusnya kau bersyukur, kau masih mampu kuliah dan beraktivitas". 
wajahku mengeluarkan ekspresi bertanya
" Aku seorang Ayah, anakku seorang lelaki yang cacat fisiknya. ia Buta dan tidak bisa melihat apa-apa. Aku tetap bersyukur karena aku yakin Tuhan bukan memberikan Takdir yang buruk kepadaku tetapi Tuhan telah menentukan skenario terbaik untuk kehidupanku. Anakku itu tidak dapat melihat, tetapi ia mampu bermain musik dengan baik. banyak orang yang kagum kepadanya dan mengundang ia untuk mengisi acara musik dimana-mana" bapak tua itu menjelaskan dan betapa bangganya ia dengan prestasi yang dimiliki anaknya.

Aku semakin tersadar bahwa aku adalah manusia yang beruntung tetapi sering mengeluh dengan keberuntunganku, aku tidak memiliki kecacatan, orang tuaku mampu, aku bisa kuliah, aku bisa semuanya. aku hanya gagal dalam persaingan politik.
Aku menelan air yang dari tadi ku tahan dimulut itu
" Aku minta maaf karena aku sudah pesimis pak " ucapku kepada bapak tua itu..
Ia menyergah ucapanku " Kau tidak perlu minta maaf kepadaku, minta maaflah kepada dirimu sendiri. karena selama ini kau telah menginjak-injak harga dirimu sendiri hanya karena satu hal". bapak tua itu mengutarakan dengan bijak pandangannya
" Jika hari ini kau gagal meraih sesuatu yang ku tak tau apa itu, besok kau harus kembali mencobanya dan meraihnya" .

Aku pun meminta maaf kepada diriku, dan diriku memaafkannya
aku berjanji dalam diriku sendiri " aku akan mencobanya lagi tahun depan, apapun hasilnya aku akan tetap bersyukur dan ikhlas "

Aku kemudian berpamitan dengan bapak tua itu, aku mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup yg diberikannya..
Aku mulai berjalan meninggalkannya, Bapak itu mulai mengerjakan kembali pekerjaannya memilah-milah sampah. aku tenang dalam perjalanan pulang itu, tak ada rasa gundah sedikitpun dalam diriku, tak muncul sekalipun keluh kesah dari mulutku, aku sadar betapa pentingnya rasa syukur dalam menghadapi kehidupan ini. terima kasih bapak tua, telah mengajarkanku cara berterima kasih kepada Tuhan.